UPAYA
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN HAK ASASI MANUSIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Banyak pertanyaan berkaitan dengan masalah
diskriminasi terhadap perempuan baik pada tingkat regional maupun dunia. Untuk
menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, Konvensi perempuan disusun dan
diterima oleh Sidang Umum PBB tanggal 18 Desember 1979, kemudian diratifikasi
oleh Indonesia melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1984, tanggal 24 Juli 1984.
Segala bentuk instrumen yang sudah ada sampai saat ini belum efektif dan
maksimal, dengan demikian perlu ada pembenahan-pembenahan hak-hak perempuan dan
penghapusan diskriminasi.Di Tahun 1984 Indonesia melalui Undang-undang No. 7
Tahun 1984 telah meratifikasi Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan, ratifikasi ini jelas memperlihatkan bahwa Indonesia
mempunyai kewajiban melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam konvensi
perempuan dengan menciptakan kepastian dan penegakan hukum dan melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang non diskriminasi.
Banyak kalangan yang pesimis terhadap dampak
dari konvensi perempuan ini untuk memajukan status perempuan di Indonesia,
karena apa yang dijanjikan dan apa yang sudah tertuang dalam undang-undang
belum tentu bisa diwujudkan dalam kenyataan.
Namun para pemerhati masalah perempuan
menganggap bahwa ratifikasi konvensi perempuan ini sesungguhnya bisa dijadikan
alat untuk memajukan kesetaraan gender. Caranya adalah dengan melakukan kajian-kajian
terhadap berbagai peraturan yang ada, pengamatan terhadap praktek-praktek yang
diskriminatif serta penyebarluasan isi dari konvensi perempuan tersebut. Hasil
dari semua studi bisa diimplementasikan kepada para pengambil kebijakan untuk
mengingatkan pemerintah akan komitmen yang telah dibuat sehingga dapat memberi
motivasi bagi percepatan terwujudnya keadilan jender. Selain itu dengan
memperluas jaringan hubungan dengan lembaga-lembaga serta 2 pemerhati masalah
perempuan, diharapkan akan semakin banyak orang yang menaruh perhatian terhadap
ketimpangan jender dan upaya untuk memperjuangkan keadilan jender akan lebih
berdaya guna.
Bahwa dalam Pasal 11 Konvensi perempuan yang lengkapnya memuat ketentuan
mengenai :
·
Hak atas pekerjaan yang sama dengan
laki-laki, kebebasan memilih provesi, pekerjaan, promosi dan
pelatihan.
· Upah
yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.· Hak perempuan terhadap jaminan sosial.
· Hak mendapatkan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.
·
Hak perempuan untuk tidak
diberhentikan dari pekerjaan dan tetap mendapat tunjangan karena kawin, hamil,
hak akan cuti haid dan melahirkan.
· Hak untuk mendapatkan pelayanan sosial supaya perempuan
dapat menggabungkan kewajiban keluarga untuk mendapatkan upah yang layak.
Tentang hak perempuan adalah hak asasi perempuan
memberikan pengalaman sebagai suatu pernyataan dan penegasan, bahwa hak-hak
yang melekat dalam diri perempuan. perempuan adalah manusia juga yang
dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat sama halnya dengan laki-laki sehingga
tidak ada diskriminasi dalam bidang apapun.
Permasalahan ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1
Deklarasi Sedunia tentang hak-hak asasi manusia yang berbunyi “Semua orang yang
dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama”. Permasalahan
yang mungkin timbul adalah apakah pengertian antara hakhak asasi, sama dengan
hak-hak manusia karena dalam bahasa asalnya tampaknya ada perbedaan pengertian
tetap dalam pembicaraan kali ini tidak diperdebatkan. Yang di maksud dengan hak
asasi manusia secara umum dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat
kita sebagai manusia, yang bila tidak mustahil kita akan dapat hidup sebagai
manusia termasuk di dalamnya adalah hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak
sipil dan politik. Hak perempuan yang dimaksudkan adalah hak-hak yang melekat
pada diri perempuan yang dikodratkan sebagai manusia sama halnya dengan
laki-laki yang diutamakan adalah hak untuk mendapatkan kesempatan dan tanggung
jawab yang sama dengan laki-laki di segala bidang kehidupan.
Hak untuk memperoleh kedudukan dan perlakuan yang
sama dengan lakilaki sebagaimana yang di maksud dalam pengertian hak-hak asasi
yang termasuk di dalamnya hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil
dan politik. Kenyataan menunjukkan bahwa perlakuan diskriminasi terhadap
perempuan masih banyak ditemui walaupun sudah ada berbagai aturan serta
peraturan perundang-undangan lainnya. Seperti halnya di Indonesia sejak awal
berdirinya Republik ini secara tegas dicantumkan di dalam Undang-undang Dasar
(UUD) 1945 tentang adanya persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan
perempuan antara lain Pasal 27 (1) UUD 1945, segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hokum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945
berbunyi tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan, dan juga di dalam beberapa pasal yang lainnya (Pasal 29
ayat (2), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1) UUD 1945.
Bahwa dari uraian tersebut di atas, dapat diketahui
betapa pentingnya fungsi undang-undang dan peraturan-peraturan dalam mewujudkan
keadilan jender agar tidak terdapat ketentuan hukum yang non diskriminasi.
Kenyataan yang ada menunjukkan masih jauh dari harapan, padahal kita mengetahui
bersama bahwa sudah cukup banyak perempuan yang berpendidikan yang dapat diberi
tanggungjawab sebagai penentu kebijakan nasional. Tetapi ternyata dalam
prosentase perempuan yang mendapat kesempatan tanggungjawab untuk itu masih
sangat kecil. Hal ini merupakan masalah besar yang membutuhkan penanganan lebih
lanjut untuk dibenahi oleh pemerintah.
B. PERUMUSAN MASALAH
Bertitik tolak dari latar belakang tersebut di atas maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut :
·
Bagaimanakah perlindungan hukum
terhadap jender dan diskriminasi terhadap perempuan?
·
Bagaimanakah pendekatan hukum
perspektif perempuan mengakomodirnya?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
Adapun yang menjadi tujuan penulisan adalah sebagai berikut :
·
Membahas upaya-upaya hukum jender
dan diskriminasi terhadap perempuan.
·
Membahas upaya-upaya penghapusan
diskriminasi dan pemberdayaan perempuan dalam perspektif hak-hak asasi
manusia.
Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan ini adalah :
·
Diharapkan peran perempuan serta
hak-hak asasi dapat disetarakan dengan laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan,
jangan di diskriminatif.
·
Bahwa dari judul karya tulis ini
dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pemerintah agar kesetaraan jender
(perempuan) yang merupakan hak-hak asasi diberikan perhatian, sehingga tidak
terjadi dikotomi diskriminatif yang menimbulkan kesenjangan.
D. METODE PENELITIAN
Dalam penyusunan karya tulis ini digunakan
metode penelitian hukum normatif yaitu melalui studi kepustakaan untuk meneliti
bahan hukum primer yang meliputi peraturan perundang-undangan di bidang hukum
jender dan diskriminasi terhadap hak-hak asasi manusia, serta
literatur-literatur lain yang ada hubungannya dengan judul karya tulis.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN KEKERASAN
Kekerasan merupakan tindakan agresi dan
pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang
menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang
lain, dan hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap
sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait
dengan kekejaman terhadap binatang. Istilah “kekerasan” juga mengandung
kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kerusakan harta
benda biasanya dianggap masalah kecil dibandingkan dengan kekerasan terhadap
orang.
Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam
dua bentuk kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau
yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh
kelompokkelompok baik yang diberi hak maupun tidak seperti yang terjadi dalam
perang (yakni kekerasan antarmasyarakat) dan terorisme. Perilaku kekerasan
semakin hari semakin nampak, dan sungguh sangat mengganggu ketentraman hidup
kita. Jika hal ini dibiarkan, tidak ada upaya sistematik untuk mencegahnya,
tidak mustahil kita sebagai bangsa akan menderita rugi oleh karena kekerasan
tersebut. Kita akan menuai akibat buruk dari maraknya perilaku kekerasan di
masyarakat baik dilihat dari kacamata nasional maupun internasional.
Saat ini kita sebagai bangsa sudah dituding
oleh beberapa negara lain sebagai sarang teroris, terlepas dari benar tidaknya
tudingan itu. Di mata mancanegara, hidup di Indonesia menyeramkan. Sedangkan
sebaliknya, kita di negeri ini yang setiap hari hampir tak pernah bebas dari
berita-berita kekerasan, mulai dibelajarkan dan terbiasa. Tuntutan untuk
survive dan ketidakmungkinan untuk mengelakkan, menyebabkan masyarakat belajar
hidup dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Dan pada akhirnya
perlahan-lahan kita mulai menerima karena terbiasa.
Kekerasan telah menimbulkan tidak saja
kerugian materil tapi lebih dari itu, dampak psikis hingga merenggut nyawa
akibat dipergunakannya pola-pola kekerasan.1 Derap reformasi, yang dibarengi
euforia demokrasi dan kebebasan, kebangkitan etnis serta kegandrungan berotonomi
daerah, tidak hanya merupakan pergeseran dari satu situasi ke situasi lain,
tetapi telah keluar dari rel-nya yang menelorkan kerusuhan, anarkhisme yang
disertai kekerasan sebagai alat yang akhirnya meminta darah dan airmata.
Beragamnya latar belakang dan tingkat sosial masyarakat, maka persoalan hak dan
kewajiban senantiasa muncul menjadi konflik sosial yang berkepanjangan dan
terjadi di berbagai daerah. Konflik yang menggunakan simbol etnis, agama dan
ras muncul yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta bagi pihak yang
bertikai. Terlepas dari kemungkinan terjadinya konflik akibat adanya akumulasi
“tekanan” secara mental, spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang
dirasakan oleh sebagian masyarakat. Namun realitas tersebut merupakan kenyataan
di mana telah terjadi pelanggaran hak hidup damai dan sejahtera dalam
bermasyarakat.
Dalam perspektif HAM, Kekerasan merupakan
tindakan agresif yang langsung berakibat dibatasi atau dirampasnya hak-hak
manusia. Kekerasan merupakan pelanggaran terhadap penegakan hak asasi manusia.
Berlanjutnya kekerasan dan tiadanya jawaban atas pertanyaan itu seakan
menunjukkan lemahnya pemerintah menangani permasalahan di masyarakat.
Masyarakat seolah harus menghadapi sendiri kekerasan-kekerasan yang terjadi. Padahal,
negara bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak warganya dari segala bentuk
aksi kekerasan.
Secara sederhana, HAM adalah hak-hak yang dimiliki
oleh setiap manusia sejak dia dilahirkan. Menurut Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia (DUHAM), semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan
hak-hak yang sama, sedangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM; Hak
asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia. Undang-undang ini merupakan satu perwujudan dari kesiapan
pemerintah untuk melindungi, memenuhi, dan menghormati HAM rakyatnya.
HAM diklasifikasikan menjadi sepuluh hak dasar yang terbagi lagi kedalam
beberapa turunannya. Kesepuluh hak tersebut adalah :
·
Hak untuk hidup.
Hak untuk hidup dan meningkatkan taraf hidup, hidup tentram, aman dan damai dan
lingkungan hidup.
·
Hak berkeluarga dan melanjutkan
keturunan.
Hak untuk membentuk suatu keluarga melalui perkawinan yang sah.
·
Hak mengembangkan kebutuhan dasar:
hak untuk pemenuhan diri, hak pengembangan pribadi, hak atas manfaat iptek, dan
hak atas komunikasi.
·
Hak memperoleh keadilan.
Hak perlindungan hukum, hak keadilan dalam proses hukum, dan hak atas hukum
yang adil.
·
Hak atas kebebasan dari perbudakan.
Hak untuk bebas dari perbudakan pribadi, hak atas keutuhan pribadi, kebebasan
memeluk agama dan keyakinan politik, kebebasan untuk berserikat dan berkumpul,
kebebasan untuk menyampaikan pendapat, kebebasan untuk menyampaikan pendapat,
dan status kewarganegaraan.
·
Hak atas rasa aman: hak mencari
suaka dan perlindungan diri pribadi.
·
Hak atas kesejahteraan: hak milik,
hak atas pekerjaan, hak untuk bertempat tinggal layak, jaminan sosial, dan
perlindungan bagi kelompok rentan.
·
Turut serta dalam pemerintahan: hak
pilih dalam pemilihan umum dan hak untuk berpendapat.
·
Hak perempuan.
Hak pengembangan pribadi dan persamaan dalam hukum dan hak perlindungan
reproduksi.
·
Hak Anak.
Hak hidup untuk anak, status warga negara, hak anak yang rentan, hak
pengembangan pribadi dan perlindungan hukum, dan hak jaminan sosial anak.2
Kekerasan bagi masyarakat Indonesia seakan
sudah menjadi bagian tidak terpisahkan. Jika kita menilik sejarah, kita
dibesarkan dalam budaya dendam dan kekerasan. Praktik kekerasan terus berulang
dan memakan korban jiwa dalam jumlah yang tidak kecil. Istilah kejahatan
terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity) pertama kali digunakan dalam
Piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan perjanjian multilateral antara Amerika
Serikat dan sekutunya setelah selesai Perang Dunia II. Mereka (Amerika Serikat
dan sekutunya) menilai bahwa para pelaku (NAZI) dianggap bertanggung jawab
terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan pada masa tersebut.Definisi Kejahatan
terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma dan Pasal 9 Undang-undang Nomor
26 Pengadilan HAM Tahun 2000, terdapat sedikit perbedaan tetapi secara umum
adalah; Salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
·
Pembunuhan;
·
Pemusnahan;
·
Perbudakan;
·
Pengusiran atau pemindahan penduduk
secara paksa;
·
Perampasan kemerdekaan atau
perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar
(asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
·
Penyiksaan;
·
Perkosaan, perbudakan seksual,
pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara
paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara;
·
Penganiayaan terhadap suatu kelompok
tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah
diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
·
Penghilangan orang secara paksa;
atau
·
Kejahatan apartheid
Definisi kejahatan tersebut di atas merupakan
varian dari bentuk dan dampak dari tindakan kekerasan. Oleh karenanya kekerasan
tak lain adalah wujud dari kejahatan. Oleh karena itu pula kekerasan itu
dilarang. Kekerasan (violence), telah menjadi bagian sisi di kehidupan kita
saat ini. Perkelahian, Penculikan, penjarahan, penganiayaan dan pembunuhan
telah menjadi fakta keseharian. Aksi-aksi teror dan intimidasi yang bermunculan
dimana-mana merenggut rasa aman, menyebarkan ketakutan dan menambah
ketidakpastian dan kebingungan masyarakat. Sungguh sebuah tantangan
tersendiridalam upaya kita membuka lembar sejarah baru di era reformasi
ini.
B. ARTI DISKRIMINASI
Sebelum kita membahas Anti
Diskriminasi, mari kita telusuri dahulu apa yang di maksud dengan diskriminasi.
Mengapa terjadi, jenis-jenis perlakuan apa yang termasuk dalam kategori
diskriminasi, serta dampak negatif dari tindakan diskriminasi. Kemudian
upaya-upaya apa yang telah dilakukan (dalam tataran pemerintah dengan
kebijakannya) guna menanggulangi masalah diskriminasi.
Selanjutnya dari uraian itu kita akan
bahas apa yang di maksud anti diskriminasi, mengapa perlu disikapi dan
diterapkan. Salah satu masalah terbesar yang muncul sejak lama di tengah umat
manusia, adalah diskriminasi dan ketidakadilan. Di berbagai penjuru dunia
berkali-kali muncul kebangkitan atau revolusi untuk menentang fenomena tidak
manusiawi ini, dan telah mengorbankan banyak nyawa. Diskriminasi memang telah
terjadi di mana-mana, di negara-negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia
bahkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris. Ada berbagai
diskriminasi, karena warna kulit, jenis kelamin, suku sampai diskriminasi
karena agama, dan lain sebagainya. Hingga kini
persoalan diskriminasi terhadap kaum minoritas di Indonesia masih merupakan
masalah aktual. Hal ini seharusnya tidak terjadi lagi, karena dalam masa
reformasi ini telah diadakan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, serta
oleh pemerintah sejak masa Presiden Habibie, Gus Dur, hingga Megawati telah
dikeluarkan beberapa Inpres yang menghapuskan peraturan-10 peraturan pemerintah
sebelumnya khususnya yang dikeluarkan pada masa Orde Baru yang bersifat
diskriminatif.
Meskipun demikian, persoalan diskriminasi ini
masih tetap saja terjadi. Di Indonesia, perlakuan diskriminatif yang terjadi
antara lain didasarkan pada jenis kelamin, ras, usia, golongan masyarakat
ekonomi-sosial yang lemah atau masyarakat kecil/tidak mampu, dan ini terjadi
terus-menerus. Dengan berbagai alasan, mulai dari ekonomi hingga politik demi
menjaga kelangsungan kekuasaan. Malahan, akhir-akhir ini terjadi, berbeda dalam
menyikapi pencalonan pemimpin mulai dari tingkat Lurah hingga Presiden, menjadi
alasan untuk secara diskriminatif memecat orang. Dunia sosial di negeri ini
memang menganut paham realitas tunggal. Artinya yang berbeda dan yang di luar
jalur dinyatakan salah. Lalu mereka pun disingkirkan. Faham realitas tunggal
ini menuntut kepatuhan dan menolak segala kritik dan keberatan.Seperti kita
ketahui, pembatasan terhadap agama yang dilakukan oleh Indonesia terhadap warga
negaranya, yang hanya mengakui ada 5 agama resmi di Indonesia yaitu agama
Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Hindu menjadikan agama atau kepercayaan
lain di luar agama tersebut tidak dapat tumbuh dan berkembang.
Kebijakan-kebijakan tersebut telah melahirkan
praktek-praktek diskriminatif terhadap pemeluk agama atau kepercayaan yang
tidak diakui agamanya oleh negara. Berdasarkan hal tersebut maka maraknya
praktek-praktek pembatasan pendirian tempat peribadatan dan tempat-tempat suci
dari suatu agama atau kepercayaan menjadi suatu praktek diskriminatif yang
kerap terjadi di Indonesia.Diskriminasi merujuk kepada pelayanan/perlakuan yang
tidak adil terhadap individu tertentu, di mana pelayanan/perlakuan ini dibuat
berdasarkan kumpulan yang diwakili oleh individu yang lebih dominan.
Diskriminasi menjadi suatu hal yang biasa dijumpai dalam masyarakat.
Diskriminasi bertumpu pada kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan manusia.
Diskriminasi berlaku dalam berbagai konteks. Bisa dilakukan oleh orang
perorangan, institusi, perusahaan, atau bahkan oleh negara. Terdapat berbagai
perlakuan yang dianggap sebagai diskriminasi. Diskriminasi dianggap sebagai
sesuatu yang tidak adil berdasarkan prinsip “setiap manusia harus diberi hak
dan peluang yang sama” (equal opportunity). Jika seseorang diperlakukan secara
tidak adil karena karakteristik gender, ras, agama dan kepercayaan, aliran
politik, kondisi fisik atau karakteristik lain yang diduga merupakan dasar dari
tindakan diskriminasi, jelas hal ini telah menyalahi prinsip dasar hak manusia.
Jadi, diskriminasi secara singkat, bisa kita
simpulkan sebagai perlakuan terhadap orang atau kelompok yang didasarkan pada
golongan atau kategori tertentu. Sementara itu dalam pengertian lain
diskriminasi dapat juga diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu
secara berbeda dengan didasarkan pada gender, ras, agama, umur, atau
karakteristik yang lain. Dari kedua definisi tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa inti dari diskriminasi adalah perlakuan berbeda-beda terhadap manusia.
Seperti kita ketahui penegakan hukum negara kita sangat lemahnya dalam
melindungi hak sipil dan politik rakyat. Padahal ini merupakan ancaman setiap
orang dalam menghadapi tekanan kekerasan dan kriminalitas. Ancaman ini terutama
tertuju pada kelompok-kelompok minoritas, golongan ekonomi lemah, bahkan
anak-anak. Keadaan ini sudah mencapai titik di mana masyarakat pun sudah tidak
bisa mempercayai aparat pemerintah dalam meminta perlindungan hukum.
Akibat dari tindakan diskriminasi adalah
tertumpuknya emosi seseorang, golongan, yang secara akumulatif akan bisa
meledak dengan berbagai macam perilaku. Ujung ketidakpuasan ini akan
menimbulkan dampak seperti permusuhan, peperangan, kerusuhan, dan berbagai
tindakan anarkis. Upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi memang
membutuhkan waktu yang lama dan harus dilakukan dengan komitmen yang kuat
karena berkaitan dengan cara pandang dan struktur sosial. Tantangan lainnya
adalah belum pulihnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat pemerintah
yang selama ini dipandang bersikap diskriminatif dalam menyelenggarakan
pelayanan publik, rendahnya komitmen serta lingkungan yang tidak kondusif dalam
mendukung upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi. Untuk mendukung upaya
penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk, sasaran pembangunan yang akan
dicapai adalah:
1. Teroperasionalkannya peraturan perundang-undangan yang tidak
mengandung perlakuan diskriminasi baik kepada setiap warga negara,
lembaga/instansi pemerintah, maupun lembaga swasta/dunia usaha secara konsisten
dan transparan;
2. Terkoordinasikannya dan terharmonisasikannya pelaksanaan
peraturan perundang-undangan yang tidak menonjolkan kepentingan tertentu
sehingga dapat mengurangi perlakuan diskriminatif terhadap warga negara; dan
3. Terciptanya aparat dan sistem pelayanan publik yang adil dan
dapat diterima oleh setiap warga negara.
BAB
III
PEMBAHASAN
A. HUKUM, JENDER DAN DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN
Undang-undang Dasar kita yang dirumuskan pada
Tahun 1945 sejak semula telah mencantumkan dalam Pasal 27 (1), bahwa semua
orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Jadi sejak Tahun 1945 di
negara kita prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan di depan hukum telah
diakui.Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 31 ayat (1) memuat
kalimat-kalimat yang mengatakan, bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama di masyarakat. Kemudian ada lagi pasal dalam Undang-undang Perkawinan
itu yang mengemukakan, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama (Pasal 35 ayat (1)), dan mengenai harta bersama suami
atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat
(1)).
Ketentuan-ketentuan tersebut mengandung
makna, bahwa terhadap isteri harus diberi penghargaan yang setara dengan suami.
Ketentuan dalam GBHN 1993-1998 juga mengemukakan prinsip kesetaraan laki-laki
dan perempuan seperti yang dapat dibaca berikut ini: “perempuan, baik sebagai
warga negara maupun sebagai sumberdaya insani pembangunan, mempunyai hak dan
kewajiban serta kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam pembangunan di
segala bidang”. Di bidang hukum yang mengatur tentang hak-hak tenaga kerja,
negara kita telah meratifikasi Konvensi ILO No. 100, yaitu mengenai pengupahan
yang sama untuk laki-laki dan perempuan pekerja untuk pekerjaan yang sama
nilai, sehingga kita terikat untuk mengintegrasikannya ke dalam
perundang-undangan kita. Semua ketentuan undang-undang serta ketentuan dalam
GBHN yang telah dikutip tadi menjadi bukti yang nyata, bahwa pembuat
undang-undang di negara kita memang menyetujui prinsip kesetaraan laki-laki dan
perempuan. Kemudian ketentuan harus dijamin, bahwa perempuan menikmati
perlindungan hak-hak asasinya seperti halnya laki-laki, yang berarti bahwa
diskriminasi terhadap perempuan dilarang, menjadi hukum positif di negara kita
dengan ratifikasi terhadap Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap perempuan (disingkat dengan Konvensi Perempuan) melalui
UndangUndang No. 7 Tahun 1984. Di kalangan PBB konvensi ini telah diterima pada
Sidang Umum tahun 1979, dan pembuatan konvensi ini dilatar-belakangi oleh
fakta, bahwa resolusi-resolusi serta deklarasi-deklarasi, seperti Deklarasi
Universal mengenai Hak-hak Asasi Manusia atau Deklarasi mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, sebagai instrumen tidak mampu
menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan. Hakhak asasi perempuan tetap
dilanggar secara meluas. Maka itu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap perempuan dianggap perlu dibuat dan diharapkan dapat
bekerja sebagai instrumen yang lebih efektif dalam mencegah dan menghapuskan
diskriminasi terhadap perempuan. Harapan ini didasarkan pada konsekuensinya,
antara lain adalah negara penandatangan mengikat diri untuk mengeluarkan
berbagai peraturan, dan mengadakan berbagai kebijaksanaan maupun langkah-langkah
lainnya wilayah negaranya untuk menjamin terhapusnya diskriminasi terhadap
perempuan.
Pada Konvensi perempuan Pasal 2, dibaca
bahwa negara peserta Konvensi mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam
segala bentuknya, bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat
dan tanpa ditunda-tunda, kebijaksanaan menghapus diskriminasi terhadap
perempuan, dan untuk tujuan ini berusaha (antara lain, kami mengutip disini
beberapa butir saja)
1. Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat, dan
peraturanperaturan lainnya, termasuk sanksi-sanksinya di mana perlu, melarang
semua diskriminasi terhadap perempuan.
2. Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan
atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui
pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintahan lainnya,
perlindungan perempuan yang efektif terhadap tiap tindakan diskriminasi.
3. Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi
terhadap perempuan, dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan
lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini.
4. Membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk mengubah dan
menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaankebiasaan dan praktek-praktek
yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan.
Walaupun telah jelas-jelas digariskan bahwa
harus menjamin supaya perempuan memperoleh perlakuan yang setara dengan
laki-laki, fakta-fakta menunjukkan diskriminasi yang berkelanjutan terhadap
perempuan. Berbagai hal yang terjadi pada perempuan, yang dapat kita amati,
yang beritanya kita baca dalam media masa, malahan berbagai rumusan
undang-undang menunjukkan bahwa perlakuan diskriminatif terhadap perempuan
masih berlangsung terus.
Pasal 1 Konvensi Perempuan berbunyi sebagai
berikut: “Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah diskriminasi
terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang
dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk
mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak
asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan terlepas dari status
perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan”.
Beberapa contoh perlakuan diskriminatif yang
meluas adalah gaji yang diterima oleh tenaga kerja perempuan lebih rendah dari
yang diterima oleh lakilaki. Kemudian pekerjaan perempuan yang berwujud sebagai
curahan waktu yang panjang untuk mengurus rumah tangga, mengurus anak-anak,
mengurus berbagai keperluan suami tidak memperoleh penilaian dalam arti tidak
diperhitungkan sebagai sumbangan bagi ekonomi rumah tangga. Suami dan anggota
lain dari keluarga dapat menghasilkan uang dan tercatat dalam statistik,
sedangkan perempuan yang karena kegiatannya memungkinkan suami dan orang lain
bekerja dianggap tidak bekerja. Hal lain adalah anggapan bahwa anak laki-laki
itu jaminan di hari tua dan anak perempuan bukan. Penelitian-penelitian
menunjukkan bahwa investasi keluarga bagi pendidikan anak laki-laki lebih besar
dibandingkan dengan investasi bagi pendidikan anak perempuan.
Masyarakat kita bersifat patriarkhis, atau
merupakan masyarakat di manalaki-laki dominan sifatnya, sehingga
ketentuan-ketentuan hukum dalam proses penyusunannya banyak yang mengandung
bias terhadap laki-laki, atau yang menjadi ukuran penentu adalah penilaian
laki-laki. Kita ambil saja sebagai contoh perumusan dari artikel 285
KUHPidana“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorang perempuan bersetubuh dengan dia di luar perkawinan diancam karena
melakukan perkosaan dengan pidana paling lama 12 tahun”.Ketentuan ini jelas
dirumuskan dari segi kepentingan laki-laki. Apakah perempuan yang berada dalam
perkawinan berarti dapat dipaksa melakukan persetubuhan oleh suami. Dan kalau
kita mengikuti proses penanganan kasus-kasus perkosaan, para penegak hukum
dalam kebanyakan hal di masyarakat kita maupun yang dilaporkan mengenai
misalnya para penegak hukum di Amerika Serikat, memihak kepada lakilaki.
Berbagai ketentuan dalam Undang-undang Perkawinan juga mencerminkan bahwa yang
diutamakan adalah kepentingan yang dianggap mewakili kepentingan umum, tetapi yang
menjadi penentu adalah kepentingan masyarakat patriarkhis.
Dalam menelaah masalah berlanjutnya
perlakuan diskriminatif, sedangkan secara eksplisit kebijaksanaan hukum yang
setara, adalah masih bertahannya di kalangan bagian terbesar warga masyarakat
termasuk para pengambil keputusan, konsep-konsep tradisional mengenai apakah
yang seharusnya menjadi peranan perempuan, apakah peranan laki-laki dan
bagaimanakah seharusnya hubungan laki-laki dan perempuan, atau antara suami
isteri. Untuk dapat lebih jelas memahami hal ini, dalam studi perempuan dan
dalam analisis tentang isu-isu hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam
mengupayakan terwujudnya hasil-hasil pembangunan nasional, telah lahir
kebutuhan untuk menggunakan suatu istilah yaitu gender (jender bila
diindonesiakan).
B. PENDEKATAN HUKUM DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN HAK ASASI MANUSIA
Pendekatan hukum berperspektif
perempuan muncul sekitar akhir tahun 1970-an atau awal 1980-an dan merupakan
salah satu aliran terpenting dalam aliran pemikiran ilmu hukum hari ini.
Beberapa sebutan melekat pada pendekatan ini, seperti Feminist Jurisprudence,
Feminist Legal Theory, Women and the Law, Feminist Analysis of Law, Feminist
Perspectives on Law, dan Feminist Legal Scholarship.
Beberapa faktor memberi sumbangan kepada
lahirnya pendekatan ini. Di antaranya adalah sebagai akibat dari adanya,
gerakan perempuan dua dekade yang lalu yang menghasilkan tulisan-tulisan di
berbagai lapangan studi yang kemudian mempengaruhi para sarjana hukum;
banyaknya perempuan yang memasuki sekolah hukum menjelang Tahun 1960-an; akibat
dari reaksi para feminis yang berperkara di pengadilan dan mengadakan tuntutan
terhadap masalah-masalah hukum yang khas, sebagai akibat dari pengaruh
pemikiran Critical Legal Studies (Teori Hukum Kritik)Dengan demikian, para
sarjana hukum feminis mulai melancarkan kritik terhadap hukum melalui pandangan
yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman perempuan. Gagasan dari pendekatan
hukum berperspektif perempuan ini bermula dari suatu asumsi dasar mengenai
hubungan antara perempuan dan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa hukum
diinformasikan oleh laki-laki, dan bertujuan memperkokoh hubungan-hubungan
sosial yang patriarkis. Hubungan yang dimaksud adalah yang didasarkan pada
norma, pengalaman, dan kekuasaan lakilaki, dan mengabaikan pengalaman
perempuan. Dengan demikian, hukum dipandang telah menyumbang kepada penindasan
terhadap perempuan. Dengan mengungkapkan ciri-ciri hukum yang tidak netral ini
dan bagaimana hukum tersebut “dioperasikan”, diharapkan dapat ditemukan
saran-saran untuk mencapai perubahan dan perbaikan. Pada dasarnya, pendekatan
hukum feminis ini mengacu pada suatu bidang teori, pengajaran, dan praktek
mengenai bagaimana hukum berdampak kepada perempuan.Sebenarnya apakah yang
dilakukan kaum feminis berkaitan dengan hukum? Katherine Bartlett yang dikutip
oleh Brenda Cossman menjawab pertanyaan tersebut:Pertanyaan perempuan mengenai
implikasi jender dan praktek sosial atau praktek hukum adalah, apakah perempuan
tidak ikut diperhitungkan dalam hukum? Dengan cara bagaimana? Bagaimana tidak
diperhitungkannya perempuan tersebut dapat dikoreksi? Perbedaan apakah yang
dapat dibuat untuk dapat melakukan koreksi tersebut? Dalam hukum, menjawab
pertanyaan perempuan di atas berarti menguji apakah hukum telah gagal
memperhitungkan pengalaman dan nilai-nilai yang tipikal perempuan, atau
bagaimana standar hukum dan konsep-konsep yang ada telah merugikan perempuan.
Pertanyaan tersebut berasumsi bahwa ciri-ciri hukum bukan hanya tidak netral
dalam arti yang umum, tetapi juga bersifat kelaki-lakian dalam arti khusus.
Tujuan dari pertanyaan perempuan itu adalah untuk mengungkapkan ciri-ciri
tersebut dan bagaimana hukum beroperasi, dan memberi saran mengenai bagaimana
hukum tersebut dapat dikoreksi.
Secara singkat, inti gagasan dari pendekatan hukum
berperspektif perempuan meliputi beberapa hal. Pertama, mempersoalkan perempuan
dalam hukum adalah menguji apakah hukum telah gagal memperhitungkan pengalaman
perempuan, atau betapa standar ganda dan konsep hukum telah merugikan
perempuan. Kedua, mempersoalkan perempuan dalam hukum adalah dalam rangka
menerapkan metode kritis terhadap penerapan hukum. Dengan kata lain, pendekatan
ini mempertanyakan tentang implikasi jender dari hukum yang mengabaikan
perempuan. Doing law bagi seorang feminis adalah melihat ada apa di balik
rumusan-rumusan hukum yang ada, untuk dapat mengidentifikasi implikasi jender
dari peraturan-peraturan hukum serta mengamati asumsi-asumsi yang mendasarinya dan
membantu memecahkan persoalan. Ketiga, konsekuensimetodologis, yaitu
digunakannya kasus-kasus pengalaman perempuan sebagai unit analisis untuk
melihat hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki.
Ciri ketiga inilah yang menjadi ciri khas dari
pendekatan hukum berperspektif perempuan, yang membedakannya dari aliran
mainstream pada umumnya yaitu tidak berasal dari teori yang muluk-muluk, tetapi
berdasarkan pengalamanpengalaman perempuan, melihat bagaimana perempuan dapat
menikmati hak-hak dasarnya dan memperoleh perlindungan hukum.Mengapa kaum
feminis membutuhkan teori? Teori dibutuhkan untuk dapat memahami hakikat dari
banyak permasalahan yang dialami perempuan dalam menghadapi hukum. Generalisasi
didasarkan pada pengalaman masa lalu yang dibutuhkan dalam rangka memberi
perhatian kepada konteks dan detail, ketika kita memahami dan menghargai
perbedaan maupun persamaan di antara situasisituasi yang konkret. Bagi kaum
feminis teori tidaklah “out there”, tetapi didasarkan pada pengalaman individual
perempuan sehari-hari yang biasa dan konkret, yang kemudian dimunculkan sebagai
pengalaman yang dianut bersama melalui obrolan perempuan.
Secara garis besar pendekatan hukum
berperspektif perempuan ini mempunyai dua komponen utama, yaitu: Pertama,
eksploitasi dan kritik pada tataran teoretik terhadap interaksi antara hukum
dan jender. Kedua, adalah penerapan analisis dan perspektif feminis (perempuan)
terhadap lapangan hukum yang konkret seperti: keluarga, tempat kerja, hal-hal
yang berkaitan dengan pidana, pornografi, kesehatan reproduksi dan pelecehan
seksual, dengan tujuan mengupayakan terjadinya reformasi dalam bidang
hukum.Tujuan utama pendekatan ini adalah persamaan formal perempuan.
Tuntutannya adalah perempuan harus diperlakukan sama dengan laki-laki.
Pendekatan ini mengangkat pemikiran mengenai inti konsep dari teori politik
liberal, yaitu: rasionalitas, hak, persamaan kesempatan, dan berpendapat bahwa
perempuan juga sama rasionalnya dengan laki-laki. Oleh karena itu, mereka harus
mendapat kesempatan yang sama untuk menentukan pilihan. Ia menolak asumsi
mengenai inferioritas perempuan dan menghapuskan perbedaan berdasarkan jender
yang diakui dalam hukum, dengan demikian memungkinkan perempuanuntuk bersaing
secara sama di dunia pasar.
Ketimpangan jender atau perempuan dipandang sebagai
konsekuensi dari subordinasi yang sistematik, tidak sebagai hasil dari
diskriminasi yang irasional. Peran jender yang tradisional menerima hirarkhi
jender yang didominasi secara seksual sebagai sesuatu yang natural. Laki-laki
menghasilkan konstruksi sosial seksualitas supaya dapat melanggengkan hirarkhi
jender tersebut.Mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan perempuan terdiri dari
mengidentifikasi komponen jender dan implikasi jender dari peraturan hukum yang
dinyatakan netral dan prakteknya. Pertanyaan perempuan dalam rangka menggali
implikasi jender dilakukan dengan meneliti bagaimanakah hukum yang ada lebih
menyukai nilai laki-laki daripada nilai-nilai perempuan, dan bagaimana hal
tersebut dapat dikoreksi supaya dapat menghapuskan kerugian perempuan.Metode
ini tidak di disain untuk mengungkapkan setiap atribut yang melekat pada
perempuan, tetapi juga mengangkat rencana institusional seperti keluarga, dunia
kerja, pola pengasuhan anak, dan sebagainya yang mensubordinasi perempuan.
Pengadilan menolak nilai-nilai yang bersifat preseden dari suatu kasus. Metode
ini bertujuan untuk membuat perbedaan, dengan kata lain menajamkan materi. Ia
menyediakan suatu metode interpretasi yang tidak menerima status quo dan
mengungkapkan bias yang tersembunyi dalam hukum.Analisis terhadap metodologi
hukum dan penalaran hukum. Sebagian sarjana hukum feminis berargumentasi bahwa
metodologi dari penalaran hukum bersifat patriarkal. Mereka berpendapat bahwa
perempuan mendekati penalaran moral berbeda dengan laki-laki, yaitu perempuan
lebih sensitif terhadap konteks dan pengalaman, dan kurang berkecenderungan
mencapai generalisasi dan abstraksi. Teori-teori mengenai perbedaan jender
dalam penalaran moral ini telah menemukan suara pada sejumlah kritik feminis
terhadap penalaran hukum dan metodologi yang didasarkan pada penalaran moral
laki-laki.
Sementara itu sarjana hukum feminis yang lain
berpendapat bahwa metodologi tradisional dari penalaran hukum mengenai
karakterisasi masalahmasalah hukum, pemilihan preseden hukum dan interpretasi
doktrin hukum, menyembunyikan landasan pilihan politik yang sedang dibuat.
Selanjutnya, penekanan kepada prinsip-prinsip dan preseden dalam metodologi
hokum tradisional dianggap bersifat konservatif. Fokusnya yang ketinggalan
zaman itu memberi peluang kepada dikekalkannya bias laki-laki, dan mengeluarkan
pengalaman perempuan dari hukum.
Analisis tahap ketiga berkaitan dengan
tantangan kaum feminis terhadap untutan epistemologi hukum mengenai
netrali-tas. Beberapa kaum feminis akan berpendapat bahwa kritik feminis
terhadap sistem hukum secara nyata dimulai dengan dekonstruksi mengenai mitos
objektivitas dan netralitas. Pada tahap ini analisis dilakukan jauh melampaui
analis doktrinal, dan berupaya untuk menggali pertanyaan-pertanyaan tentang
hubungan antara perempuan, hukum, dan hubungan-hubungan penindasan. Feminisme
Radikal dan Feminisme Sosialis, meskipun berbeda dalam hal asumsi awal,
memunculkan pertanyaan berkaitan dengan misalnya, hubungan antara hukum dan
negara, antara hukum dan ideologi, dan berusaha membuat teori mengenai dampak
dari hubungan-hubungan tersebut terhadap perempuan.Dalam bidang hukum pidana,
hukum keluarga, hukum perburuhan, hukum kesejahteraan sosial dan sebagainya,
sarjana hukum feminis melakukan advokasi terhadap reformasi hukum dan perubahan
dalam pendekatan interpretatif dari pengadilan. Sebagian sarjana memberi
perhatian kepada dikembangkannya argumentasi hukum yang khusus bagi tantangan
konstitusional terhadap hukumhukum yang bersifat diskriminatif. Tampak
strategi-strategi yang berfokus kepada pertanyaan tersebut beranggapan bahwa
hokum dapat digunakan untuk mencapai perubahan sosial. Namun, pertanyaan
mengenai apakah hukum dalam kenyataannya merupakan alat yang berguna bagi
perubahan sosial, tetap menjadi permasalahan bagi teori berperspektif perempuan
selama bertahun-tahun.
BAB
IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
a.
Salah satu masalah terbesar yang
muncul sejak lama di tengah umat manusia adalah kekerasan dan diskriminasi
serta ketidakadilan. Diskriminasi dianggap sebagai suatu yang tidak adil
berdasarkan prinsip “Setiap manusia harus diberikan hak dan peluang yang sama
(equal opportunity)”. Jika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena
karakteristik gender, ras, agama dan kepercayaan, politik, sosial budaya.
b. Upaya penghapusan diskriminasi, pemerintah telah
meratifikasi:
·
Convention of Elimination all Forms
of Discrimination Against Women (CEDAW) dengan UU No. 7 Tahun 1984, yang telah
mengakomodir antara lain: mencantumkan azas persamaan dalam UUD 1945 Pasal 27
ayat (1), Pasal 28A, Pasal 281 ayat (2). Undang-undang No. 39 Tahun 1999
tentang HAM bagian kesembilan Pasal 45-51 mengenai Perempuan. Instruksi
Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Pasal 65
Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Partai Politik tentang
Keterwakilan Perempuan 30% tiap daerah pemilihan. Undang-undang No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan.
B. SARAN
a.
Di alam reformasi sekarang ini yang
sedang berlangsung menuju proses demokratisasi hendaknya melibatkan juga proses
reformasi mewujudkan “gender equality” dalam pelbagai aspek kehidupan negara.
Di era reformasi sepatutnya juga melakukan revisi hukum dan aturan main politik
yang bisa menjuarakan belbagai kegiatan termasuk perempuan. Untuk itu penting
bagi perempuan untuk ikut serta dalam proses sehingga suara perempuan dapat
diakomodir.
b. Diperlukan suatu upaya yang mendasar yang berkaitan dengan
perlindungan HAM bagi perempuan yang dirasakan perlu sehingga akan terwujud
derajat yang sama antara pria dan wanita, agar diskriminasi terhadap perempuan
tidak menimbulkan kesenjangan (gap) baik dalam pemenuhan pekerjaan, upah,
jaminan sosial, dll.
NAMA : ILHAM NOVERI
KELAS : 2EA03
NPM :
13211501
kawan,
karena kita sudah mulai memasuki mata kuliah softskill akan lebih baik jika
blog ini disisipkan link Universitas Gunadarma yang merupakan identitas kita
sebagai mahasiswa di Universitas Gunadarma juga sebagai salah satu kriteria
penilaian mata kuliah soft skill seperti
- www.gunadarma.ac.id
- www.studentsite.gunadarma.ac.id
- www.baak.gunadarma.ac.id
untuk info lebih lanjut bagaimana cara memasang RSS , silahkan kunjungi link
ini
http://hanum.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/folder/0.5
Arsip
Blog
Mengenai
Saya
Template
Tanda Air. Diberdayakan oleh Blogger.