Tuesday, May 1, 2018

Cegah Korupsi. Preventif atau Represif ?


Cegah Korupsi
Represif atau Preventif ?


Korupsi, bisa kita katakan sebagai sistem yang telah membudaya dikalangan masyarakat, korupsi kini telah menjadi suatu  permasalahan yang begitu kompleks dengan menjangkit keseluruh aspek aspek kehidupan dalam kelompok kelompok sosial, namun tak bisa kita pungkiri substansi dari kebiasaan korupsi ini telah lama terangkai menjadi suatu perilaku yang notabenenya dulu belum menjadi problematika yang kompleks seperti sekarang ini, hal ini begitu menggugah rasa penasaran akan meningkatnya level awareness kita pada masa sekarang dalam hal ini dampak besar yang terjadi ketika korupsi tak lagi bisa terbendung. Perihal kesadaran terhadap bahaya dari korupsi ini juga tak lepas dari dampak yang telah menjelma menjadi suatu tembok besar dan akhirnya akan mempertajam tingkat kesenjangan antara kaum borjuis dengan kaum proletal1.
Yang terpahami pada konstruksii tertulis dari sebuah defenisi korupsi didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi BAB II pada pasal 2 No.1 dinyatakan bahwa
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Seperi yang telah dituliskan diatas,kita ketahui bahwa salahsatu asas yang terkandung di pasal pasal tindak pidana dikenal dengan asas legalitas.Asas ini merupakan salah satu asas fundamental yang harus tetap dipertahankan demi kepastian hukum. Makna asas legalitas harus dimaknai secara bijaksana dalam kerangka penegakan hukum dan keadilan. Jika dilihat dari situasi dan kondisi lahirnya asas legalitas, maka asas tersebut adalah untuk melindungi kepentingan individu sebagai ciri utama tujuan hukum pidana menurut aliran klasik yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yaitu singkatnya mengatakan bahwa tiada suatu tindakan pidana kecuali yang telah dituliskan dan dikodifikasi dalam satu kesatuan dalam ketentuan pidana. Jika demikian maka kita akan mendapati suatu kesimpulan bahwa korupsi itu adalah orang yang secara secara jelas melakukan suatu perbuatan melawan hukum dengan tujuan menguntugkan dan atau memperkaya diri dan mengakibatkan kerugian pada sebuah negara akan diberi hukuman sesuai dengan yang dituliskan dalam Undang – Undang,maka yang terpahami bahwa yang melakukan tindakan korupsi itu hanya sebatas apa masuk dalam unsur – unsur pada pasal diatas.
Dari sekian banyaknya sumber-sumber berita tentang tindak pidana korupsi, acap kali penulis temukan bahwa kasus korupsi ini semua diberitakan tentang pejabat atau seseorang yang memiliki jabatan yang menyalahgunakan wewenangnya,mengapa demikian? Penulis menyimpulkan bahwa semakin hari semakin terdeklinasi pula mentalitas diri dari jiwa bangsa kita yang membuka tabir kemungkinan-kemungkinan seseorang dalam melakukan perilaku buruk ,sehingga terciptalah moral yang termanifestasi dalam suatu tindakan korupsi yang begitu sewenang – wenang tanpa mengimani bahwa korupsi merupakan suatu kejahatan extra-ordinary yang begitu besar dampaknya bagi motor penggerak bangsa kita untuk maju.
Memang begitu ironi, ketika penulis melihat semakin maraknya kasus korupsi yang ditemukan dikalangan otoritas, Hal ini jika kita lihat dari perspektif awam, bahwa ada suatu keberhasilan yang begitu baik dalam hal penyidikan dan pemberantasan suatu tindak pidana  korupsi karena pihak yang berwenang semakin baik dan dominan membongkar kasus dari  pelaku – pelaku korupsi, dan setelah itu diberi hukuman. Namun dalam perspektif lain, apakah dengan banyaknya ditemukan kasus-kasus korupsi sehingga pelaku korupsi pun begitu massivenya diberitakan diberbagai media bisa memutus mata rantai korupsi dengan efektif ? ada baiknya kita merefleksi kembali presentasi tindak pidana korupsi yang dilaporkan oleh KPK semenjak 2 Tahun terakhir.
“Dikutip dari laman Tempo, Peneliti Divisi Investigasi Indonesia Corrupption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan terdapat 576 kasus korupsi sepanjang 2017. Angka ini bertambah dibandingkan pada 2016 dengan total 482 kasus. Jumlah kerugian negara pun meningkat dengan angka sebesar Rp 6,5 triliun dan suap Rp 211 miliar. "Dibanding dengan tahun 2016, penanganan kasus korupsi tahun 2017 mengalami peningkatan signifikan terutama dalam aspek kerugian negara," kata Wana dalam keterangan yang diterima Tempo pada Selasa, 20 Februari 2018. kerugian negara naik dari Rp 1,5 triliun pada 2016 menjadi Rp 6,5 triliun pada 2017. Tidak hanya itu, kenaikan juga terjadi dalam aspek jumlah tersangka. Selama satu tahun, jumlah tersangka meningkat dari 1.101 menjadi 1.298 orang.”
Memang agak sedikit benar yang dikatakan penulis tadi,bahwa semakin hari semakin meningkat jumlah penangkapan pelaku tindak pidana korupsi diIndonesia, hal ini patut penulis untuk apresiasi. Akan tetapi tindakan represif dari pihak yang berwenang menurut penulis bukan hanya merupakan satu -  satunya cara yang efektif digunakan untuk mengurangi perilaku korupsi di Indonesia, represif disini dimaksudkan yaitu pemberian hukuman yang setimpal kepada pelaku tindak pidana korupsi dengan harapan akan memberikan efek jera kepada si pelaku serta mencegah kembali terjadinya tindakan korupsi. Berdasarkan fakta yang kita lihat diatas, maka dengan cara represif masih sangat sulit jika kita anggap bahwa metode ini masih terjaga eksistensinya sebagai sebuah solusi khususnya diIndonesia dalam mencegahmenjamurnya tindakan korupsi.kenapa demikian ?
Mari kita menganalogikan permasalahan korupsi ini bagaikan sebuah tumbuhan bambu,korupsi itu sama halnya dengan bambu – bambu yang tumbuh bukan hanya tumbuh keatas, melainkan juga berkembang melahirkan tunas –tunas calon bambu dewasa baru yang nantinya juga melahirkan lagi banyak tunas – tunas yang lainnya, bahkan walaupun bambu dewasa ini telah dipangkas namun masih tetap akan tumbuh tunas – tunas baru. Jika kita tarik perihal pertumbuhan dan perkembangan bambu, maka bambu dewasa ini kita analogikan sebagai sipelaku tindak korupsi sekarang maka walaupun sekeras apapun kita memangkas pelaku – pelaku korupsi ini dengan tindakan represif hal ini masih memungkinkan untuk munculnya tunas – tunas pelaku korupsi baru yang mungkin saja akan melebihi besarnya kasus korupsi yang telah ada sebelumnya. Perihal  itu maka penulis memberikan penekanan terhadap tindakan preventif sebagai solusi yang diberikan kepada si penegak hukum untuk memangkas dan mencabut sampai keakar – akarnya sistem kompleks yang disebut dengan korupsi ini.
Preventif merupakan suatu usaha dalam menyelesaikan sebuah maslaah dengan mencegah suatu permasalahan mulai dari asal muasal suatu permasalahan itu lahir sampai dengan proses terjadinya masalah itu sendiri,artinya disini bahwa sebagai penegak hukum yang bertujuan untuk menciptakan suatu keadilan dan kedamaian dalam menyejahterahkan masyakatanya seyogyanya pula perlu melakukan tindak preventif terhadap permasalah korupsi dengan mencegah dari awal bibit-bibit atau tunas pelaku tindak pidana korupsi yang mungkin saja kembali akan menjadi pemeran utama dalam melaksanakan kejahatan extraordnary ini, salah satunya dengan cara menanamkan rasa integritas, jujur, bertanggungjawab, dan lain sebagainya sebagai satu langkah awal menuju indonesia bersih dari Korupsi, yang dimana dengan meneropong realitas korupsi diIndonesia ini yang kini terus saja menjadi racun yang semakin hari, semakin menggorogoti dan membunuh karakter – karakter mulia dari bangsa kita.

Continue Reading...

Blogroll

About