Friday, May 26, 2017

Makalah Pancasila Sebagai Dasar Negara



Kata Pengantar

Pertama-tama kami panjatkan puja & Puji syukur atas rahmat & ridho Allah SWT, karena tanpa Rhmat & RidhoNya, kita tidak dapat menyelesaikan mekalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mku pancasila yang membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kami yang selalu setia membantu dalam hal mengumpulkan data-data dalam pembuatan makalah ini. Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang sejarah pancasila

Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui. Maka dari itu kami mohon saran & kritik dari teman-teman maupun dosen. Demi tercapainya makalah yang sempurna.

Makassar, 22 Februari 2017











BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Bagi bangsa Indonesia Pancasila bukan suatu hal yang baru, dan sebagai mata ajaran formal telah diberikan semenjak seseorang duduk dibangku sekolah mulai dari tingkatan dasar sampai pendidikan tinggi.
Dalam sejarah telah diungkapkan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia. Pancasila diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti yang tercantum dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yang merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenarannya, kemampuannya dan kesaktiannya, sehingga tidak ada satu pun kekuatan yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Pancasila?
2.      Bagaimana sejarah terbentuknya Pancasila?
3.      Bagaimana sumber historis sejarah pancasila?
4.      Bagaimana sumber sosiologis sejarah pancasila?












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pancasila
Secara etimologis, istilah Pancasila berasal dari  bahasa Sansekerta (India) yang mengandung dua macam arti. Pancasila, Panca artinya lima, dan sila yang artinya dasar, sehingga Pancasila memiliki arti lima dasar.
Istilah “sila” juga dapat diartikan sebagai aturan yang melatar belakangi perilaku seseorang atau bangsa, kelakuan atau perbuatan yang menurut adab (sopan santun), akhlak dan moral.
Istilah Pancasila sudah dikenal sejak dahulu, yang dipergunakan sebagai acuan moral (etika) dalam kehidupan bangsa Indonesia sehari-hari, seperti yang terungkap dalam tulisan Mpu Prapanca tentang Negara Kertagama, dan Mpu Tantular dalam buku Sutasoma. Dalam buku Sutasoma ini terdapat istilah Pancasila Krama yang mempunyai arti Lima Dasar Tingkah Laku atau Perintah Kesusilaan yang lima.
Selain dalam kitab Sutasoma terdapat semboyan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma yang mengandung arti meskipun agama itu kelihatannya berbeda bentuk atau sifatnya namun pada hakikatnya satu juga, yang kemudian menjadi motto lambang negara kita, yakni Bhinneka Tunggal Ika.

B.     Sejarah Terbentuknya Pancasila
Pancasila diyakini sebagai produk kebudayaan bangsa Indonesia yang telah menjadi sistem nilai selama berabad-abad lamanya. Pancasila bukanlah sublimasi atau penarikan ke atas (hogere optreking) darideclaration of independence (Amerika Serikat), manifesto komunis, atau paham lain yang ada di dunia.
Istilah “Pancasila” pertama kali dapat ditemukan dalam buku “Sutasoma” karya Mpu Tantular yang ditulis pada zaman Majapahit (abad XIV). Dalam buku itu istilah Pancasila diartikan sebagai perintah kesusilaan yang jumlahnya lima dan berisi lima larangan untuk : 1. Melakukan kekerasan, 2. Mencuri, 3. Berjiwa dengki, 4. Berbohong, dan 5. Mabuk.
Pancasila sebagai dasar negara pertama kali diusulkan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 di hadapan sidang BPUPKI. Menurut beliau, istilah Pancasila tersebut diperoleh dari para sahabatnya yang merupakan ahli bahasa. Rumusan Pancasila yang dikemukakan tersebut terdiri atas: 1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasional atau kemanusiaan, 3. Mufakat atau demokrasi, 4. Kesejahteraan sosial, 5. Ketuhanan yang berkemanusiaan.
Pada tanggal 22 Juni 1945, tokoh-tokoh BPUPKI yang diberi nama Panitia Sembilan mengadakan pertemuan untuk membahas pidato serta usul-usul mengenai dasar negara yang telah dikemukakan dalam sidang-sidang BPUPKI. Dalam pembahasan tersebut, disusunlah sebuah piagam yang diberi nama Piagam Jakarta, yang didalamnya terdapat rumusan dan sistematika Pancasila sebagai berikut:
1.      Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3.      Persatuan Indonesia;
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

C.    Sumber Historis

Bangsa Indonesia terbentuk melalui proses yang panjang mulai jaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit sampai datangnya penjajah. Bangsa Indonesia berjuang untuk menemukan jati dirinya sebagai bangsa yang merdeka dan memiliki suatu prinsip yang tersimpul dalam pandangan hidup serta filsafat hidup, di dalamnya tersimpul ciri khas, sifat karakter bangsa yang berbeda dengan bangsa lain. Oleh para pendiri bangsa kita (the founding father) dirumuskan secara sederhana namun mendalam yang meliputi lima prinsip (sila) dan diberi nama Pancasila.
Dalam era reformasi bangsa Indonesia harus memiliki visi dan pandangan hidup yang kuat (nasionalisme) agar tidak terombang-ambing di tengah masyarakat internasional. Hal ini dapat terlaksana dengan kesadaran berbangsa yang berakar pada sejarah bangsa.
Secara historis nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara Indonesia secara obyektif historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Sehingga asal nilainilai Pancasila tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri, atau bangsa Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila.


D. Sumber Sosiologis

Jika ada satu hal yang paling patut disesalkan dari kekuasaan Orde Baru, itulah penyimpangan Pancasila dari ideologi negara menjadi ideologi penguasa. Rezim Soeharto kala itu memperalat Pancasila sebagai justifikasi untuk memberangus aspirasi warga negara demi melanggengkan kekuasaan semata.

Alhasil, tercipta stigma buruk bagi Pancasila. Bahkan, segala ikhtiar ilmiah untuk membuat ideologi itu aktual, seperti konsep Ekonomi Pancasila oleh Mubyarto, hanya mengundang cibiran. Padahal, segala usaha ilmiah tersebut sebenarnya menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang terbuka terhadap kritik sebagaimana fitrah ilmu pengetahuan.

Lagi pula, sebagai pandangan hidup, Pancasila merupakan landasan filosofis kuat bagi siapa pun yang ingin mengembangkannya dalam aras ilmu pengetahuan. Jadi, tentu sah bagi kita merintis “Pancasilaisasi pengetahuan”. Asalkan jangan kebablasan seperti ada istilah menggelikan “Sepak Bola Pancasila” di zaman Orde Baru.

Adapun salah satu bidang yang belum tergarap benar dalam upaya Pancasilaisasi pengetahuan adalah sosiologi. Sebagai ilmu yang menganalisis relasi antara faktor dan aktor sosial dalam fenomena kemasyarakatan, sosiologi selama ini didominasi pemikiran Barat.

Karena itu, jika kita menyepakati Pancasila sebagai pandangan hidup, sudah sepatutnya satu sosiologi khas masyarakat Indonesia—sosiologi Pancasila—dirumuskan.

Mazhab Sosiologi

Dalam pemikiran Barat, berbagai teori sosiologi bisa dikelompokkan ke dalam tiga mazhab arus utama (mainstream). Pertama, mazhab struktural fungsional. Mazhab ini menganggap masyarakat sebagai struktur yang terdiri dari orang-orang yang memiliki fungsinya masing-masing.

Oleh karena itu, masalah sosial diakibatkan tidak berjalannya salah satu atau lebih fungsi-fungsi tersebut. Sebagai contoh, jika terjadi korupsi, seorang sosiolog akan mencari apakah ada masalah dalam fungsi-fungsi kemasyarakatan, seperti pendidikan dan ekonomi.

Sang sosiolog, misalnya, lantas bisa mengatakan korupsi terjadi akibat pendidikan karakter kita yang bermasalah.

Kedua, mazhab interaksionis-simbolis. Jika mazhab pertama bersifat makro, mazhab ini lebih mikro. Cara kerja sosiolog mazhab ini adalah menganalisis interaksi antaraktor dalam masyarakat, kemudian berusaha meluaskan analisis mikro ini pada tingkatan makro.

Umpamanya, kasus tawuran karena perebutan lahan parkir akan dianalisis lewat interaksi antaraktor utama yang saling bertikai. Jika ditemukan para aktor itu berpandangan masing-masing telah melanggar “daerah kekuasaan” lahan parkir, sang sosiolog akan berusaha meluaskan pandangannya bahwa “daerah kekuasaan” merupakan simbol yang wujudnya bisa bermacam-macam dalam beraneka kasus.

Ketiga, mazhab konflik. Mazhab ini beranggapan masyarakat hanya terdiri dari dua kelas, yaitu kelas borjuis yang menguasai alat produksi dan menjalankan modus produksi kapitalis, dan kelas proletar (buruh) yang tertindas dan tidak memiliki alat produksi.

Berdasarkan ini, masalah pendidikan mahal, misalnya, bisa didekati seorang sosiolog dengan menganalisis apakah sebenarnya ongkos tinggi itu dirancang kaum borjuis demi melanggengkan kekuasaannya atas kaum proletar.

Jalan pikirannya sebagai berikut. Kaum kapitalis menguasai alat produksi, termasuk alat produksi untuk menghasilkan pengetahuan yang bermanfaat bagi dunia kerja, yaitu sekolah.

Selanjutnya, supaya kelas proletar tidak bisa mengancam kekuasaan kaum borjuis, kaum borjuis pun mengkomersilkan pendidikan agar hanya orang berduit yang mempunyai akses ke sana. Akibatnya, mayoritas orang pintar adalah orang berduit dan kekuasaan kaum borjuis pun dapat dipertahankan.

Tiga Asumsi Dasar

Kita lihat betapa ketiga mazhab di atas mengandung ketimpangan. Ada yang terlalu menekankan pada struktur dan menafikan aktor di satu sisi, dan ada yang menekankan pada aktor di sisi lain.

Karenanya, satu sosiologi yang ideal—harapannya Sosiologi Pancasila—adalah yang mampu menyeimbangkan keduanya. Untuk itu, kita perlu memeriksa tiga asumsi dasar yang selalu niscaya dalam sosiologi.

Pertama, asumsi tentang sifat manusia. Fachry Ali dalam Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik (1984) menyatakan Pancasila memandang manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi sehingga manusia bersifat pemelihara.

Artinya, segala bentuk hubungan antara manusia dan lingkungannya adalah fungsional dan memiliki kesalingterkaitan. Ini sekaligus bermakna manusia harus selalu mengembangkan kemampuan-kemampuannya yang berguna untuk dirinya sendiri dan sesama. Dalam asumsi ini, sosiologi Pancasila mirip mazhab struktural fungsional.

Kedua, asumsi tentang masyarakat. Pancasila menolak pandangan yang memberikan penekanan kuat pada individualitas manusia dan paham yang terlalu mengutamakan masyarakat. Pertemuan antara asumsi ini dan realitas bahwa Indonesia memiliki kemajemukan budaya membuat Pancasila tidak mendukung multikulturalisme ataupun uniformisme.

Multikulturalisme adalah pandangan yang memberikan hak bagi semua kaum untuk mengunggulkan budayanya masing-masing secara eksklusif. Sementara itu, uniformisme adalah paham yang ingin menyeragamkan semua kemajemukan budaya ke dalam satu kebudayaan saja, misalnya Jawa.

Bertolak dari jalan tengah ini, sosiologi Pancasila meyakini pertukaran dan dialog sehat antara kebudayaan demi melahirkan simbol-simbol kultural yang bisa ditoleransi bersama.
Sebagai contoh, konsep ukhuwah dalam Islam bisa disimbiosiskan dengan konsep persatuan demi mendukung simbol kebangsaan yang lebih universal. Dalam asumsi ini, sosiologi Pancasila lebih dekat dengan mazhab interaksionis-simbolis.

Ketiga, asumsi tentang fungsi ilmu. Menurut Pancasila, tujuan satu masyarakat adalah memeratakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Pendeknya, segala fungsi dalam masyarakat—termasuk ilmu pengetahuan—bertujuan melakukan perubahan sosial lewat upaya penguakan kesadaran kritis masyarakat terhadap ketidakberesan.

Ilmu pengetahuan jadinya bersifat praksis dan membebaskan, berbeda dengan asumsi struktural-fungsional yang sebatas preservatif (melestarikan struktur yang ada) atau interaksionis yang interpretif (hanya menafsirkan). Karena itu, asumsi ketiga ini mendekati mazhab konflik.

Berbekal ketiga asumsi di atas, sosiologi Pancasila ternyata mampu meramu kekuatan-kekuatan dari tiga arus utama dalam mazhab sosiologi Barat. Jika ikhtiar pembuka jalan ini dapat dikembangkan lebih jauh, semoga kita di masa depan benar-benar dapat memiliki suatu bentuk sosiologi Pancasila yang lebih mapan
Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politik Pendidikan
Pancasila
Dilihat dari segi objek materil, pengayaan materi atau substansi mata kuliah
pendidikan Pancasila dapat dikembangkan melalui beberapa pendekatan,
diantaranya pendekatan historis, sosiologis, dan politik. Sementara, dilihat
dari segi objek formil, pengayaan materi mata kuliah pendidikan Pancasila
dilakukan dengan pendekatan ilmiah, filosofis, dan ideologis. Materi
perkuliahan dikembangkan dari fenomena sosial untuk dikaji dan ditemukan
solusinya yang rasional dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila oleh mahasiswa. Dengan demikian, kesadaran sosial mahasiswa
turut serta dalam memecahkan permasalahan-permasalahan sosial. Hal ini
akan terus bertumbuh melalui mata kuliah pendidikan Pancasila. Pada
gilirannya, mahasiswa akan memiliki argumentasi bahwa mata kuliah
pendidikan Pancasila bermakna penting dalam sistem pendidikan tinggi di
tanah air.
1. Sumber Historis Pendidikan Pancasila
Presiden Soekarno pernah mengatakan, ”Jangan sekali-kali meninggalkan
sejarah.” Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai
fungsi penting dalam membangun kehidupan bangsa dengan lebih bijaksana
di masa depan. Hal tersebut sejalan dengan ungkapan seorang filsuf Yunani
yang bernama Cicero (106-43SM) yang mengungkapkan, “Historia Vitae

Magistra”, yang bermakna, “Sejarah memberikan kearifan”. Pengertian lain
dari istilah tersebut yang sudah menjadi pendapat umum (common-sense)
adalah “Sejarah merupakan guru kehidupan”. Implikasinya, pengayaan materi
perkuliahan Pancasila melalui pendekatan historis adalah amat penting dan
tidak boleh dianggap remeh guna mewujudkan kejayaan bangsa di kemudian
hari. Melalui pendekatan ini, mahasiswa diharapkan dapat mengambil
pelajaran atau hikmah dari berbagai peristiwa sejarah, baik sejarah nasional
maupun sejarah bangsa-bangsa lain. Dengan pendekatan historis, Anda
diharapkan akan memperoleh inspirasi untuk berpartisipasi dalam
pembangunan bangsa sesuai dengan program studi masing-masing. Selain
itu, Anda juga dapat berperan serta secara aktif dan arif dalam berbagai
kehidupan berbangsa dan bernegara, serta dapat berusaha menghindari
perilaku yang bernuansa mengulangi kembali kesalahan sejarah.
Gambar I.6: Pidato Presiden Soekarno
Sumber: radiosilaturahim.com
Dalam peristiwa sejarah nasional, banyak hikmah yang dapat dipetik, misalnya
mengapa bangsa Indonesia sebelum masa pergerakan nasional selalu
mengalami kekalahan dari penjajah? Jawabannya antara lain karena
perjuangan pada masa itu masih bersifat kedaerahan, kurang adanya
persatuan, mudah dipecah belah, dan kalah dalam penguasaan IPTEKS
termasuk dalam bidang persenjataan. Hal ini berarti bahwa apabila integrasi

bangsa lemah dan penguasaan IPTEKS lemah, maka bangsa Indonesia dapat
kembali terjajah atau setidak-tidaknya daya saing bangsa melemah. Implikasi
dari pendekatan historis ini adalah meningkatkan motivasi kejuangan bangsa
dan meningkatkan motivasi belajar Anda dalam menguasai IPTEKS sesuai
dengan prodi masing-masing.
Berdasarkan penjelasan di atas, Anda dipersilakan mencari fakta-fakta
historis dan pelajaran yang menginspirasi Anda dari berbagai sumber,
guna memberikan kontribusi yang konstruktif bagi masa depan bangsa
yang lebih baik. Kemudian, Anda diminta untuk melaporkan secara
tertulis kepada dosen.
2. Sumber Sosiologis Pendidikan Pancasila
Sosiologi dipahami sebagai ilmu tentang kehidupan antarmanusia. Di
dalamnya mengkaji, antara lain latar belakang, susunan dan pola kehidupan
sosial dari berbagai golongan dan kelompok masyarakat, disamping juga
mengkaji masalah-masalah sosial, perubahan dan pembaharuan dalam
masyarakat. Soekanto (1982:19) menegaskan bahwa dalam perspektif
sosiologi, suatu masyarakat pada suatu waktu dan tempat memiliki nilai-nilai
yang tertentu. Melalui pendekatan sosiologis ini pula, Anda diharapkan dapat
mengkaji struktur sosial, proses sosial, termasuk perubahan-perubahan
sosial, dan masalah-masalah sosial yang patut disikapi secara arif dengan
menggunakan standar nilai-nilai yang mengacu kepada nilai-nilai Pancasila.
Berbeda dengan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia mendasarkan
pandangan hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada
suatu asas kultural yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri. Nilainilai
kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila
Pancasila bukan hanya hasil konseptual seseorang saja, melainkan juga hasil
karya besar bangsa Indonesia sendiri, yang diangkat dari nilai-nilai kultural
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri melalui proses refleksi filosofis
para pendiri negara (Kaelan, 2000: 13).
Bung Karno menegaskan bahwa nilai-nilai Pancasila digali dari bumi pertiwi
Indonesia. Dengan kata lain, nilai-nilai Pancasila berasal dari kehidupan
sosiologis masyarakat Indonesia. Pernyataan ini tidak diragukan lagi karena
dikemukakan oleh Bung Karno sebagai penggali Pancasila, meskipun beliau
dengan rendah hati membantah apabila disebut sebagai pencipta Pancasila,
sebagaimana dikemukakan Beliau dalam paparan sebagai berikut:
30
“Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal
toh sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekedar
penggali Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara
yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia. Malah pernah
saya katakan, bahwa sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian daripada Pancasila
ini saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya… Sebagaimana tiap-tiap
manusia, jikalau ia benar-benar memohon kepada Allah Subhanahu Wata’ala, diberi
ilham oleh Allah Subhanahu Wata’ala (Latif, 2011: 21)
Makna penting lainnya dari pernyataan Bung Karno tersebut adalah Pancasila
sebagai dasar negara merupakan pemberian atau ilham dari Tuhan Yang Maha
Kuasa. Apabila dikaitkan dengan teori kausalitas dari Notonegoro bahwa
Pancasila merupakan penyebab lahirnya (kemerdekaan) bangsa Indonesia,
maka kemerdekaan berasal dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sejalan
dengan makna Alinea III Pembukaan UUD 1945. Sebagai makhluk Tuhan,
sebaiknya segala pemberian Tuhan, termasuk kemerdekaan Bangsa
Indonesia ini wajib untuk disyukuri. Salah satu bentuk wujud konkret
mensyukuri nikmat karunia kemerdekaan adalah dengan memberikan
kontribusi pemikiran terhadap pembaharuan dalam masyarakat.
Bentuk lain mensyukuri kemerdekaan adalah dengan memberikan kontribusi
konkret bagi pembangunan negara melalui kewajiban membayar pajak,
karena dengan dana pajak itulah pembangunan dapat dilangsungkan secara
optimal.
Sejalan dengan hal itu, Anda juga diharapkan dapat berpartisipasi dalam
meningkatkan fungsi-fungsi lembaga pengendalian sosial (agent of social
control) yang mengacu kepada nilai-nilai Pancasila.
Dalam rangka mensyukuri karunia kemerdekaan, Anda diminta untuk
mengidentifikasi sekurang-kurangnya 3 fenomena permasalahan sosial yang
menurut Anda tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Kemudian, Anda
diminta untuk membuat ringkasan secara tertulis untuk diserahkan kepada
dosen.








Daftar Pustaka
Al Marsudi, Subandi. 2006. Pancasila dan UUD’45 dalam Paradigma Reformasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Burhan, Wirman. 2014. Pendidikan Kewarganegaraan, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Darmadi, Hamid. 2010. Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung: Alfabeta.
Rahmawati, Noviani. 2013. Pendidikan Kewarganegaraan, Klaten: Viva Pakarindo.
Setijo, Panji. 2006. Pendidikan Pancasila, Jakarta: PT Gramedia.
Syarbani, Syahrial. 2003. Pendidikan Pancasila Di Perguruan tinggi, Bogor Selatan: Ghalia Indonesia.















Continue Reading...

Blogroll

About