Kemiskinan
merupakan suatu masalah yang menjamur pada hampir semua negara didunia. Menurut Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2017 jumlah penduduk miskin,
yakni penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis
Kemiskinan) di lndonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen dari jumlah
total penduduk).Indonesia sebagai negara demokrasi yang
berjiwa nilai luhur pancasila, sangatlah menjunjung tinggi asas keadilan sosial
yang seyogyanya menjadikan rakyat sebagai tolak ukur kemajuan negaranya, menjadi
tersingkirkan, teralienisasi dari negaranya sendiri, tergerus kebijakan politis
para oknum politik.
Kemiskinan berasal
dari kata miskin, awalan ke dan
akhiran an menjadi kemiskinan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Baru (2012:581), miskin artinya adalah tidak berharta benda, serba
kekurangan, papa, sangat melarat. Dalam bahasa Inggris, miskin sebagai
poor atau dapat diartikan sebagai having
a money few possession; not having enough money for the basic things that
people need to live properly, yang diartikan tidak memiliki cukup uang
untuk hal-hal dasar bahwa orang perlu untuk hidup dengan benar (Stevenson,
2010). Kemiskinan di
Indonesia bukanlah hal yang baru, bahkan sudah dikenal dan diselidiki oleh
Pemerintah kolonial Belanda sejak awal abad 20. Kemiskinan
dewasa ini telah mengalami perluasan makna, seiring dengan semakin kompleksnya
faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya.
Kemiskinan tidak hanya dipandang dari dimensi ekonomi saja, melainkan semakin
meluas hingga ke dimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan bahkan politik. Konsep kemiskinan dengan demikian mempunyai definisi yang variatif
berdasarkan ragam paradigma, dimensi yang terukur berdasarkan aspek-aspek dan
indikator yang menyertainya. Sehingga konsep kemiskinan dapat
diterjemahkan secara utuh ”
holistik” (Suharto, 2010)
Lalu apa indikator bagi kemiskinan itu sendiri?
Menurut beberapa lembaga ekonomi global seperti World Bank, kemiskinan diukur
dari tingkat pendapatan perkapita, yakni dibawah $ 2,00 per hari. Standar ini
cukup tinggi bila dibandingkan dengan indikator yang digunakan oleh beberapa
lembaga lain yang menetapkan standar pendapatan $ 1,00 per hari. Yang perlu kita
tanyakan, apakah standar-standar ini bersifat manusiawi? Kita akan
mensimulasinya dengan mengambil standar pendapatan tertinggi, $ 2,00 per hari.
Jika kita mengasumsikan nilai tukar mata uang dolar ke rupiah sebesar Rp.
10.000 per dolar, maka itu artinya seseorang yang memiliki pendapatan harian
sebesar Rp. 20.500 per hari bukan lagi digolongkan sebagai fakir miskin. Lalu
apakah dengan pendapatan sebesar Rp. 20.500 per hari seseorang sudah dapat
memenuhi seluruh kebutuhan primernya? Anda tentu dapat menjawab pertanyaan ini
kembali pada pertanyaan kenapa saya memilih
topik kemiskinan?
Pertanyaan atas hal ini mungkinlah sudah jelas bagi mereka yang peka
terhadap lingkungan sosialnya, bahwa ada ketidakadilan yang ditutup rapi dengan prestasi yang tak kunjung teratasi.
Terdapat 5 faktor terbesar penyebab
kemiskinan di Indonesia.
Kebodohan (Ignorance)
“Bodoh” disini bukan bermakna
secara harfiah dimana, kalau misal mereka bersekolah, mereka akan mendapat
nilai jelek. Bukan begitu. Tapi lebih kepada tidak adanya akses kepada
pendidikan yang mereka butuhkan untuk kehidupan mereka. Misalnya, para nelayan
mungkin tidak begitu memerlukan pelajaran fisika; tetapi pengetahuan akan
varian hasil laut bisa mendukung mereka dalam mengoptimalkan pekerjaan. Pelangi Viridis yang berlokasi di Banten memahami hal ini, dan
memposisikan diri sebagai jembatan bagi kebutuhan nelayan dalam meningkatkan
pengetahuan mereka akan kelautan.
Penyakit (Disease)
Di berbagai daerah yang belum
mengenal pengobatan moderen, orang miskin sering terjebak pada mitos-mitos
tentang penyakit yang akhirnya menyebabkan kematian. Mereka yang belum mengenal
aktivitas menjaga kesehatan juga biasanya memiliki produktivitas yang rendah.
Keterbatasan kondisi tubuh mereka membuat mereka tidak mampu bekerja secara
maksimal sehingga kurang sejahtera. Kamu sendiri pasti akan lebih fokus bekerja
ketika sehat, kan?
Permasalahan ini juga meliputi
akses air bersih, sanitasi, dan pengetahuan akan pencegahan penyakit. Makanya, Komodo Water
membawa solusi untuk peningkatan kesehatan di daerah Nusa Tenggara Timur,
melalui penyediaan akses air bersih dengan harga yang lebih terjangkau.
Ketidakacuhan (Apathy)
Banyaknya permasalahan hidup
yang berlatar belakang finansial kadang membuat orang miskin kurang memiliki
optimisme. Bagaimana mereka bisa optimis kalau tidak mengetahui bahwa
sebenarnya ada lho, solusi untuk keluar dari kemiskinan. Alhasil, dengan
‘ketidakpedulian’ mereka pada diri sendiri dan keluarga, mereka ‘memilih’ untuk
menyerah. Komunitas
Agus Lele Booster melakukan pemberdayaan warga desa di Banyuwangi,
terutama untuk usia produktif. Mereka biasanya hanya berpikir untuk mencari
pekerjaan di kota, dan karena latar belakang pendidikan, tentu saja mereka
‘berakhir’ pada pekerjaan serabutan. Sementara, sebenarnya banyak sekali
potensi lokal yang bisa dikembangkan di desa mereka. Oleh karena itu, komunitas
ini mengajak para pemuda untuk pulang ke desa dan memanfaatkan apa yang ada
agar dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik.
Ketidakjujuran (Dishonesty)
Secara garis besar, hal inilah
yang menjadi penyebab utama kemiskinan di Indonesia sulit untuk dihilangkan.
Selama pejabat pemerintahan – dari tingkat yang terendah hingga tingkat pusat –
hanya berpikir untuk memperkaya dirinya sendiri, maka akan selalu ada orang
miskin. Yang menyedihkan, penyebab kemiskinan satu ini tidak hanya
menitikberatkan pada nominal angka yang dikorupsi. Sementara seorang pejabat
mungkin mencuri 100 juta rupiah dari anggaran pendidikan, sebenarnya ia sedang
mengambil 400 juta rupiah, atau lebih banyak lagi. Kok bisa begitu? Seharusnya
100 juta itu bisa memperbaiki kehidupan 100 pelajar misalnya, dan ke-100
pelajar itu bisa mengembalikan manfaat itu kepada lingkungan sekitarnya.
Hilangnya 100 juta tersebut memberikan dampak yang mendalam dan meluas pada
kemiskinan masyarakat.
Ketergantungan (Dependency)
Ini nih, salah satu hal
terpenting yang harus kamu tahu: fakta di lapangan menyebutkan bahwa santunan
belum tentu sepenuhnya menyelesaikan masalah kemiskinan! Ketika orang miskin
‘terbiasa’ diberi donasi, akan sulit bagi mereka mandiri secara finansial.
Mental mereka adalah mental ‘menerima’, sedangkan solusi bagi kemiskinan adalah
pekerjaan dan pendidikan.
Donasi tetaplah penting pada
situasi kritis, misalnya bencana alam. Tapi kalau kita ingin menghapuskan
kemiskinan, kita harus memberikan mereka suatu ‘pekerjaan rumah’ yang membuat
mereka termotivasi untuk berpikir, belajar, dan berjuang. Sebagai contoh, Ternak
Kambing Gibas di Lumajang memotivasi para warga, yang dulunya pengangguran,
untuk beternak kambing. ‘Donasi’ diberikan dalam bentuk bibit
kambing; sehingga penerimanya akan tergerak untuk menjaga, mempelajari, dan
mengembangbiakkan kambing. Dengan demikian, mereka tidak perlu tergantung pada
pekerjaan lain yang tidak menentu hasilnya.
Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya
berharap bisa menyuarakan berbagai hal yang menjadi penyebab kriris kemiskinan
dan kesenjangan yang masih saja menjadi mimpi buruk bagi rakyat diIndonesia