Cegah Korupsi
Korupsi,
bisa kita katakan sebagai sistem yang telah membudaya dikalangan masyarakat,
korupsi kini telah menjadi suatu
permasalahan yang begitu kompleks dengan menjangkit keseluruh aspek
aspek kehidupan dalam kelompok kelompok sosial, namun tak bisa kita pungkiri
substansi dari kebiasaan korupsi ini telah lama terangkai menjadi suatu
perilaku yang notabenenya dulu belum menjadi problematika yang kompleks seperti
sekarang ini, hal ini begitu menggugah rasa penasaran akan meningkatnya level
awareness kita pada masa sekarang dalam hal ini dampak besar yang terjadi
ketika korupsi tak lagi bisa terbendung. Perihal kesadaran terhadap bahaya dari
korupsi ini juga tak lepas dari dampak yang telah menjelma menjadi suatu tembok
besar dan akhirnya akan mempertajam tingkat kesenjangan antara kaum borjuis
dengan kaum proletal1.
Yang
terpahami pada konstruksii tertulis dari sebuah defenisi korupsi didalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi BAB II pada pasal 2 No.1 dinyatakan bahwa
(1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau
perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau
pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan
denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak
Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Seperi
yang telah dituliskan diatas,kita ketahui bahwa salahsatu asas yang terkandung
di pasal pasal tindak pidana dikenal dengan asas legalitas.Asas ini merupakan
salah satu asas fundamental yang harus tetap dipertahankan demi kepastian hukum.
Makna asas legalitas harus dimaknai secara bijaksana dalam kerangka penegakan
hukum dan keadilan. Jika dilihat dari situasi dan kondisi lahirnya asas
legalitas, maka asas tersebut adalah untuk melindungi kepentingan individu
sebagai ciri utama tujuan hukum pidana menurut aliran klasik yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia
lege poenali yaitu singkatnya mengatakan bahwa tiada suatu tindakan pidana
kecuali yang telah dituliskan dan dikodifikasi dalam satu kesatuan dalam
ketentuan pidana. Jika demikian maka kita akan mendapati suatu kesimpulan bahwa
korupsi itu adalah orang yang secara secara jelas melakukan suatu perbuatan
melawan hukum dengan tujuan menguntugkan dan atau memperkaya diri dan
mengakibatkan kerugian pada sebuah negara akan diberi hukuman sesuai dengan
yang dituliskan dalam Undang – Undang,maka yang terpahami bahwa yang melakukan
tindakan korupsi itu hanya sebatas apa masuk dalam unsur – unsur pada pasal
diatas.
Dari
sekian banyaknya sumber-sumber berita tentang tindak pidana korupsi, acap kali
penulis temukan bahwa kasus korupsi ini semua diberitakan tentang pejabat atau
seseorang yang memiliki jabatan yang menyalahgunakan wewenangnya,mengapa
demikian? Penulis menyimpulkan bahwa semakin hari semakin terdeklinasi pula
mentalitas diri dari jiwa bangsa kita yang membuka tabir
kemungkinan-kemungkinan seseorang dalam melakukan perilaku buruk ,sehingga
terciptalah moral yang termanifestasi dalam suatu tindakan korupsi yang begitu
sewenang – wenang tanpa mengimani bahwa korupsi merupakan suatu kejahatan
extra-ordinary yang begitu besar dampaknya bagi motor penggerak bangsa kita
untuk maju.
Memang
begitu ironi, ketika penulis melihat semakin maraknya kasus korupsi yang
ditemukan dikalangan otoritas, Hal ini jika kita lihat dari perspektif awam,
bahwa ada suatu keberhasilan yang begitu baik dalam hal penyidikan dan
pemberantasan suatu tindak pidana
korupsi karena pihak yang berwenang semakin baik dan dominan membongkar
kasus dari pelaku – pelaku korupsi, dan
setelah itu diberi hukuman. Namun dalam perspektif lain, apakah dengan
banyaknya ditemukan kasus-kasus korupsi sehingga pelaku korupsi pun begitu
massivenya diberitakan diberbagai media bisa memutus mata rantai korupsi dengan
efektif ? ada baiknya kita merefleksi kembali presentasi tindak pidana korupsi
yang dilaporkan oleh KPK semenjak 2 Tahun terakhir.
“Dikutip
dari laman Tempo, Peneliti Divisi Investigasi Indonesia Corrupption Watch (ICW)
Wana Alamsyah mengatakan terdapat 576 kasus korupsi sepanjang 2017. Angka ini
bertambah dibandingkan pada 2016 dengan total 482 kasus. Jumlah kerugian negara
pun meningkat dengan angka sebesar Rp 6,5 triliun dan suap Rp 211 miliar.
"Dibanding dengan tahun 2016, penanganan kasus korupsi tahun 2017 mengalami
peningkatan signifikan terutama dalam aspek kerugian negara," kata Wana
dalam keterangan yang diterima Tempo pada Selasa, 20 Februari 2018. kerugian
negara naik dari Rp 1,5 triliun pada 2016 menjadi Rp 6,5 triliun pada 2017.
Tidak hanya itu, kenaikan juga terjadi dalam aspek jumlah tersangka. Selama
satu tahun, jumlah tersangka meningkat dari 1.101 menjadi 1.298 orang.”
Memang
agak sedikit benar yang dikatakan penulis tadi,bahwa semakin hari semakin
meningkat jumlah penangkapan pelaku tindak pidana korupsi diIndonesia, hal ini
patut penulis untuk apresiasi. Akan tetapi tindakan represif dari pihak yang
berwenang menurut penulis bukan hanya merupakan satu - satunya cara yang efektif digunakan untuk
mengurangi perilaku korupsi di Indonesia, represif disini dimaksudkan yaitu
pemberian hukuman yang setimpal kepada pelaku tindak pidana korupsi dengan
harapan akan memberikan efek jera kepada si pelaku serta mencegah kembali
terjadinya tindakan korupsi. Berdasarkan fakta yang kita lihat diatas, maka dengan
cara represif masih sangat sulit jika kita anggap bahwa metode ini masih
terjaga eksistensinya sebagai sebuah solusi khususnya diIndonesia dalam
mencegahmenjamurnya tindakan korupsi.kenapa demikian ?
Mari
kita menganalogikan permasalahan korupsi ini bagaikan sebuah tumbuhan
bambu,korupsi itu sama halnya dengan bambu – bambu yang tumbuh bukan hanya
tumbuh keatas, melainkan juga berkembang melahirkan tunas –tunas calon bambu
dewasa baru yang nantinya juga melahirkan lagi banyak tunas – tunas yang
lainnya, bahkan walaupun bambu dewasa ini telah dipangkas namun masih tetap
akan tumbuh tunas – tunas baru. Jika kita tarik perihal pertumbuhan dan
perkembangan bambu, maka bambu dewasa ini kita analogikan sebagai sipelaku
tindak korupsi sekarang maka walaupun sekeras apapun kita memangkas pelaku –
pelaku korupsi ini dengan tindakan represif hal ini masih memungkinkan untuk
munculnya tunas – tunas pelaku korupsi baru yang mungkin saja akan melebihi
besarnya kasus korupsi yang telah ada sebelumnya. Perihal itu maka penulis memberikan penekanan
terhadap tindakan preventif sebagai solusi yang diberikan kepada si penegak
hukum untuk memangkas dan mencabut sampai keakar – akarnya sistem kompleks yang
disebut dengan korupsi ini.
Preventif
merupakan suatu usaha dalam menyelesaikan sebuah maslaah dengan mencegah suatu
permasalahan mulai dari asal muasal suatu permasalahan itu lahir sampai dengan
proses terjadinya masalah itu sendiri,artinya disini bahwa sebagai penegak
hukum yang bertujuan untuk menciptakan suatu keadilan dan kedamaian dalam
menyejahterahkan masyakatanya seyogyanya pula perlu melakukan tindak preventif
terhadap permasalah korupsi dengan mencegah dari awal bibit-bibit atau tunas
pelaku tindak pidana korupsi yang mungkin saja kembali akan menjadi pemeran
utama dalam melaksanakan kejahatan extraordnary ini, salah satunya dengan cara
menanamkan rasa integritas, jujur, bertanggungjawab, dan lain sebagainya
sebagai satu langkah awal menuju indonesia bersih dari Korupsi, yang dimana
dengan meneropong realitas korupsi diIndonesia ini yang kini terus saja menjadi
racun yang semakin hari, semakin menggorogoti dan membunuh karakter – karakter
mulia dari bangsa kita.