Kata Pengantar
Pertama-tama kami panjatkan puja & Puji syukur atas rahmat & ridho Allah SWT, karena tanpa Rhmat & RidhoNya, kita tidak dapat menyelesaikan mekalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mku pancasila yang membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kami yang selalu setia membantu dalam hal mengumpulkan data-data dalam pembuatan makalah ini. Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang sejarah pancasila
Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui. Maka dari itu kami mohon saran & kritik dari teman-teman maupun dosen. Demi tercapainya makalah yang sempurna.
Makassar, 22 Februari 2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Bagi
bangsa Indonesia Pancasila bukan suatu hal yang baru, dan sebagai mata ajaran
formal telah diberikan semenjak seseorang duduk dibangku sekolah mulai dari
tingkatan dasar sampai pendidikan tinggi.
Dalam
sejarah telah diungkapkan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia
yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia. Pancasila diterima dan
ditetapkan sebagai dasar negara seperti yang tercantum dalam pembukaan Undang
Undang Dasar 1945 yang merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang
telah diuji kebenarannya, kemampuannya dan kesaktiannya, sehingga tidak ada
satu pun kekuatan yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa
Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian Pancasila?
2. Bagaimana
sejarah terbentuknya Pancasila?
3. Bagaimana
sumber historis sejarah pancasila?
4. Bagaimana
sumber sosiologis sejarah pancasila?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pancasila
Secara
etimologis, istilah Pancasila berasal dari
bahasa Sansekerta (India) yang mengandung dua macam arti. Pancasila,
Panca artinya lima, dan sila yang artinya dasar, sehingga Pancasila memiliki
arti lima dasar.
Istilah
“sila” juga dapat diartikan sebagai aturan yang melatar belakangi perilaku
seseorang atau bangsa, kelakuan atau perbuatan yang menurut adab (sopan
santun), akhlak dan moral.
Istilah
Pancasila sudah dikenal sejak dahulu, yang dipergunakan sebagai acuan moral
(etika) dalam kehidupan bangsa Indonesia sehari-hari, seperti yang terungkap
dalam tulisan Mpu Prapanca tentang Negara Kertagama, dan Mpu Tantular dalam
buku Sutasoma. Dalam buku Sutasoma ini terdapat istilah Pancasila Krama yang
mempunyai arti Lima Dasar Tingkah Laku atau Perintah Kesusilaan yang lima.
Selain
dalam kitab Sutasoma terdapat semboyan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
yang mengandung arti meskipun agama itu kelihatannya berbeda bentuk atau
sifatnya namun pada hakikatnya satu juga, yang kemudian menjadi motto lambang
negara kita, yakni Bhinneka Tunggal Ika.
B. Sejarah Terbentuknya Pancasila
Pancasila
diyakini sebagai produk kebudayaan bangsa Indonesia yang telah menjadi sistem
nilai selama berabad-abad lamanya. Pancasila bukanlah sublimasi atau penarikan
ke atas (hogere optreking) darideclaration of independence (Amerika Serikat),
manifesto komunis, atau paham lain yang ada di dunia.
Istilah
“Pancasila” pertama kali dapat ditemukan dalam buku “Sutasoma” karya Mpu
Tantular yang ditulis pada zaman Majapahit (abad XIV). Dalam buku itu istilah
Pancasila diartikan sebagai perintah kesusilaan yang jumlahnya lima dan berisi
lima larangan untuk : 1. Melakukan kekerasan, 2. Mencuri, 3. Berjiwa dengki, 4.
Berbohong, dan 5. Mabuk.
Pancasila
sebagai dasar negara pertama kali diusulkan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1
Juni 1945 di hadapan sidang BPUPKI. Menurut beliau, istilah Pancasila tersebut
diperoleh dari para sahabatnya yang merupakan ahli bahasa. Rumusan Pancasila
yang dikemukakan tersebut terdiri atas: 1. Kebangsaan Indonesia, 2.
Internasional atau kemanusiaan, 3. Mufakat atau demokrasi, 4. Kesejahteraan
sosial, 5. Ketuhanan yang berkemanusiaan.
Pada
tanggal 22 Juni 1945, tokoh-tokoh BPUPKI yang diberi nama Panitia Sembilan
mengadakan pertemuan untuk membahas pidato serta usul-usul mengenai dasar
negara yang telah dikemukakan dalam sidang-sidang BPUPKI. Dalam pembahasan
tersebut, disusunlah sebuah piagam yang diberi nama Piagam Jakarta, yang
didalamnya terdapat rumusan dan sistematika Pancasila sebagai berikut:
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
C. Sumber Historis
Bangsa Indonesia
terbentuk melalui proses yang panjang mulai jaman kerajaan Kutai, Sriwijaya,
Majapahit sampai datangnya penjajah. Bangsa Indonesia berjuang untuk menemukan
jati dirinya sebagai bangsa yang merdeka dan memiliki suatu prinsip yang
tersimpul dalam pandangan hidup serta filsafat hidup, di dalamnya tersimpul
ciri khas, sifat karakter bangsa yang berbeda dengan bangsa lain. Oleh para
pendiri bangsa kita (the founding father) dirumuskan secara sederhana
namun mendalam yang meliputi lima prinsip (sila) dan diberi nama Pancasila.
Dalam era reformasi
bangsa Indonesia harus memiliki visi dan pandangan hidup yang kuat (nasionalisme)
agar tidak terombang-ambing di tengah masyarakat internasional. Hal ini dapat
terlaksana dengan kesadaran berbangsa yang berakar pada sejarah bangsa.
Secara historis
nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila sebelum dirumuskan dan
disahkan menjadi dasar negara Indonesia secara obyektif historis telah dimiliki
oleh bangsa Indonesia sendiri. Sehingga asal nilainilai Pancasila tersebut
tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri, atau bangsa Indonesia sebagai kausa
materialis Pancasila.
D. Sumber Sosiologis
Jika ada satu hal
yang paling patut disesalkan dari kekuasaan Orde Baru, itulah penyimpangan
Pancasila dari ideologi negara menjadi ideologi penguasa. Rezim Soeharto kala
itu memperalat Pancasila sebagai justifikasi untuk memberangus aspirasi warga
negara demi melanggengkan kekuasaan semata.
Alhasil, tercipta
stigma buruk bagi Pancasila. Bahkan, segala ikhtiar ilmiah untuk membuat
ideologi itu aktual, seperti konsep Ekonomi Pancasila oleh Mubyarto, hanya
mengundang cibiran. Padahal, segala usaha ilmiah tersebut sebenarnya menjadikan
Pancasila sebagai ideologi yang terbuka terhadap kritik sebagaimana fitrah ilmu
pengetahuan.
Lagi pula, sebagai
pandangan hidup, Pancasila merupakan landasan filosofis kuat bagi siapa pun
yang ingin mengembangkannya dalam aras ilmu pengetahuan. Jadi, tentu sah bagi
kita merintis “Pancasilaisasi pengetahuan”. Asalkan jangan kebablasan seperti
ada istilah menggelikan “Sepak Bola Pancasila” di zaman Orde Baru.
Adapun salah satu
bidang yang belum tergarap benar dalam upaya Pancasilaisasi pengetahuan adalah
sosiologi. Sebagai ilmu yang menganalisis relasi antara faktor dan aktor sosial
dalam fenomena kemasyarakatan, sosiologi selama ini didominasi pemikiran Barat.
Karena itu, jika kita
menyepakati Pancasila sebagai pandangan hidup, sudah sepatutnya satu sosiologi
khas masyarakat Indonesia—sosiologi Pancasila—dirumuskan.
Mazhab Sosiologi
Dalam pemikiran
Barat, berbagai teori sosiologi bisa dikelompokkan ke dalam tiga mazhab arus
utama (mainstream). Pertama, mazhab struktural fungsional. Mazhab ini
menganggap masyarakat sebagai struktur yang terdiri dari orang-orang yang
memiliki fungsinya masing-masing.
Oleh karena itu,
masalah sosial diakibatkan tidak berjalannya salah satu atau lebih
fungsi-fungsi tersebut. Sebagai contoh, jika terjadi korupsi, seorang sosiolog
akan mencari apakah ada masalah dalam fungsi-fungsi kemasyarakatan, seperti
pendidikan dan ekonomi.
Sang sosiolog,
misalnya, lantas bisa mengatakan korupsi terjadi akibat pendidikan karakter
kita yang bermasalah.
Kedua, mazhab
interaksionis-simbolis. Jika mazhab pertama bersifat makro, mazhab ini lebih
mikro. Cara kerja sosiolog mazhab ini adalah menganalisis interaksi antaraktor
dalam masyarakat, kemudian berusaha meluaskan analisis mikro ini pada tingkatan
makro.
Umpamanya, kasus
tawuran karena perebutan lahan parkir akan dianalisis lewat interaksi
antaraktor utama yang saling bertikai. Jika ditemukan para aktor itu
berpandangan masing-masing telah melanggar “daerah kekuasaan” lahan parkir,
sang sosiolog akan berusaha meluaskan pandangannya bahwa “daerah kekuasaan”
merupakan simbol yang wujudnya bisa bermacam-macam dalam beraneka kasus.
Ketiga, mazhab
konflik. Mazhab ini beranggapan masyarakat hanya terdiri dari dua kelas, yaitu
kelas borjuis yang menguasai alat produksi dan menjalankan modus produksi
kapitalis, dan kelas proletar (buruh) yang tertindas dan tidak memiliki alat
produksi.
Berdasarkan ini,
masalah pendidikan mahal, misalnya, bisa didekati seorang sosiolog dengan
menganalisis apakah sebenarnya ongkos tinggi itu dirancang kaum borjuis demi
melanggengkan kekuasaannya atas kaum proletar.
Jalan pikirannya
sebagai berikut. Kaum kapitalis menguasai alat produksi, termasuk alat produksi
untuk menghasilkan pengetahuan yang bermanfaat bagi dunia kerja, yaitu sekolah.
Selanjutnya, supaya
kelas proletar tidak bisa mengancam kekuasaan kaum borjuis, kaum borjuis pun
mengkomersilkan pendidikan agar hanya orang berduit yang mempunyai akses ke
sana. Akibatnya, mayoritas orang pintar adalah orang berduit dan kekuasaan kaum
borjuis pun dapat dipertahankan.
Tiga Asumsi Dasar
Kita lihat betapa
ketiga mazhab di atas mengandung ketimpangan. Ada yang terlalu menekankan pada
struktur dan menafikan aktor di satu sisi, dan ada yang menekankan pada aktor
di sisi lain.
Karenanya, satu
sosiologi yang ideal—harapannya Sosiologi Pancasila—adalah yang mampu
menyeimbangkan keduanya. Untuk itu, kita perlu memeriksa tiga asumsi dasar yang
selalu niscaya dalam sosiologi.
Pertama, asumsi
tentang sifat manusia. Fachry Ali dalam Islam, Pancasila, dan
Pergulatan Politik (1984) menyatakan Pancasila memandang manusia
sebagai wakil Tuhan di muka bumi sehingga manusia bersifat pemelihara.
Artinya, segala
bentuk hubungan antara manusia dan lingkungannya adalah fungsional dan memiliki
kesalingterkaitan. Ini sekaligus bermakna manusia harus selalu mengembangkan
kemampuan-kemampuannya yang berguna untuk dirinya sendiri dan sesama. Dalam
asumsi ini, sosiologi Pancasila mirip mazhab struktural fungsional.
Kedua, asumsi tentang
masyarakat. Pancasila menolak pandangan yang memberikan penekanan kuat pada
individualitas manusia dan paham yang terlalu mengutamakan masyarakat.
Pertemuan antara asumsi ini dan realitas bahwa Indonesia memiliki kemajemukan
budaya membuat Pancasila tidak mendukung multikulturalisme ataupun uniformisme.
Multikulturalisme
adalah pandangan yang memberikan hak bagi semua kaum untuk mengunggulkan budayanya
masing-masing secara eksklusif. Sementara itu, uniformisme adalah paham yang
ingin menyeragamkan semua kemajemukan budaya ke dalam satu kebudayaan saja,
misalnya Jawa.
Bertolak dari jalan
tengah ini, sosiologi Pancasila meyakini pertukaran dan dialog sehat antara
kebudayaan demi melahirkan simbol-simbol kultural yang bisa ditoleransi
bersama.
Sebagai contoh,
konsep ukhuwah dalam Islam bisa disimbiosiskan dengan konsep persatuan demi
mendukung simbol kebangsaan yang lebih universal. Dalam asumsi ini, sosiologi
Pancasila lebih dekat dengan mazhab interaksionis-simbolis.
Ketiga, asumsi
tentang fungsi ilmu. Menurut Pancasila, tujuan satu masyarakat adalah
memeratakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Pendeknya, segala fungsi dalam
masyarakat—termasuk ilmu pengetahuan—bertujuan melakukan perubahan sosial lewat
upaya penguakan kesadaran kritis masyarakat terhadap ketidakberesan.
Ilmu pengetahuan
jadinya bersifat praksis dan membebaskan, berbeda dengan asumsi
struktural-fungsional yang sebatas preservatif (melestarikan struktur yang ada)
atau interaksionis yang interpretif (hanya menafsirkan). Karena itu, asumsi
ketiga ini mendekati mazhab konflik.
Berbekal ketiga asumsi di atas, sosiologi Pancasila ternyata mampu
meramu kekuatan-kekuatan dari tiga arus utama dalam mazhab sosiologi Barat.
Jika ikhtiar pembuka jalan ini dapat dikembangkan lebih jauh, semoga kita di
masa depan benar-benar dapat memiliki suatu bentuk sosiologi Pancasila yang
lebih mapan
Menggali
Sumber Historis, Sosiologis, Politik Pendidikan
Pancasila
Dilihat
dari segi objek materil, pengayaan materi atau substansi mata kuliah
pendidikan
Pancasila dapat dikembangkan melalui beberapa pendekatan,
diantaranya
pendekatan historis, sosiologis, dan politik. Sementara, dilihat
dari
segi objek formil, pengayaan materi mata kuliah pendidikan Pancasila
dilakukan
dengan pendekatan ilmiah, filosofis, dan ideologis. Materi
perkuliahan
dikembangkan dari fenomena sosial untuk dikaji dan ditemukan
solusinya
yang rasional dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila
oleh mahasiswa. Dengan demikian, kesadaran sosial mahasiswa
turut
serta dalam memecahkan permasalahan-permasalahan sosial. Hal ini
akan
terus bertumbuh melalui mata kuliah pendidikan Pancasila. Pada
gilirannya,
mahasiswa akan memiliki argumentasi bahwa mata kuliah
pendidikan
Pancasila bermakna penting dalam sistem pendidikan tinggi di
tanah
air.
1.
Sumber Historis Pendidikan Pancasila
Presiden
Soekarno pernah mengatakan, ”Jangan sekali-kali meninggalkan
sejarah.”
Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai
fungsi
penting dalam membangun kehidupan bangsa dengan lebih bijaksana
di
masa depan. Hal tersebut sejalan dengan ungkapan seorang filsuf Yunani
yang
bernama Cicero (106-43SM) yang mengungkapkan, “Historia Vitae
Magistra”,
yang bermakna, “Sejarah memberikan kearifan”. Pengertian lain
dari
istilah tersebut yang sudah menjadi pendapat umum (common-sense)
adalah
“Sejarah merupakan guru kehidupan”. Implikasinya, pengayaan materi
perkuliahan
Pancasila melalui pendekatan historis adalah amat penting dan
tidak
boleh dianggap remeh guna mewujudkan kejayaan bangsa di kemudian
hari.
Melalui pendekatan ini, mahasiswa diharapkan dapat mengambil
pelajaran
atau hikmah dari berbagai peristiwa sejarah, baik sejarah nasional
maupun
sejarah bangsa-bangsa lain. Dengan pendekatan historis, Anda
diharapkan
akan memperoleh inspirasi untuk berpartisipasi dalam
pembangunan
bangsa sesuai dengan program studi masing-masing. Selain
itu,
Anda juga dapat berperan serta secara aktif dan arif dalam berbagai
kehidupan
berbangsa dan bernegara, serta dapat berusaha menghindari
perilaku
yang bernuansa mengulangi kembali kesalahan sejarah.
Gambar
I.6: Pidato Presiden Soekarno
Sumber:
radiosilaturahim.com
Dalam
peristiwa sejarah nasional, banyak hikmah yang dapat dipetik, misalnya
mengapa
bangsa Indonesia sebelum masa pergerakan nasional selalu
mengalami
kekalahan dari penjajah? Jawabannya antara lain karena
perjuangan
pada masa itu masih bersifat kedaerahan, kurang adanya
persatuan,
mudah dipecah belah, dan kalah dalam penguasaan IPTEKS
termasuk
dalam bidang persenjataan. Hal ini berarti bahwa apabila integrasi
bangsa
lemah dan penguasaan IPTEKS lemah, maka bangsa Indonesia dapat
kembali
terjajah atau setidak-tidaknya daya saing bangsa melemah. Implikasi
dari
pendekatan historis ini adalah meningkatkan motivasi kejuangan bangsa
dan
meningkatkan motivasi belajar Anda dalam menguasai IPTEKS sesuai
dengan
prodi masing-masing.
Berdasarkan
penjelasan di atas, Anda dipersilakan mencari fakta-fakta
historis
dan pelajaran yang menginspirasi Anda dari berbagai sumber,
guna
memberikan kontribusi yang konstruktif bagi masa depan bangsa
yang
lebih baik. Kemudian, Anda diminta untuk melaporkan secara
tertulis
kepada dosen.
2.
Sumber Sosiologis Pendidikan Pancasila
Sosiologi
dipahami sebagai ilmu tentang kehidupan antarmanusia. Di
dalamnya
mengkaji, antara lain latar belakang, susunan dan pola kehidupan
sosial
dari berbagai golongan dan kelompok masyarakat, disamping juga
mengkaji
masalah-masalah sosial, perubahan dan pembaharuan dalam
masyarakat.
Soekanto (1982:19) menegaskan bahwa dalam perspektif
sosiologi,
suatu masyarakat pada suatu waktu dan tempat memiliki nilai-nilai
yang
tertentu. Melalui pendekatan sosiologis ini pula, Anda diharapkan dapat
mengkaji
struktur sosial, proses sosial, termasuk perubahan-perubahan
sosial,
dan masalah-masalah sosial yang patut disikapi secara arif dengan
menggunakan
standar nilai-nilai yang mengacu kepada nilai-nilai Pancasila.
Berbeda
dengan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia mendasarkan
pandangan
hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada
suatu
asas kultural yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri. Nilainilai
kenegaraan
dan kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila
Pancasila
bukan hanya hasil konseptual seseorang saja, melainkan juga hasil
karya
besar bangsa Indonesia sendiri, yang diangkat dari nilai-nilai kultural
yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri melalui proses refleksi filosofis
para
pendiri negara (Kaelan, 2000: 13).
Bung
Karno menegaskan bahwa nilai-nilai Pancasila digali dari bumi pertiwi
Indonesia.
Dengan kata lain, nilai-nilai Pancasila berasal dari kehidupan
sosiologis
masyarakat Indonesia. Pernyataan ini tidak diragukan lagi karena
dikemukakan
oleh Bung Karno sebagai penggali Pancasila, meskipun beliau
dengan
rendah hati membantah apabila disebut sebagai pencipta Pancasila,
sebagaimana
dikemukakan Beliau dalam paparan sebagai berikut:
30
“Kenapa
diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal
toh
sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekedar
penggali
Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara
yang
saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia. Malah pernah
saya
katakan, bahwa sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian daripada Pancasila
ini
saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya… Sebagaimana tiap-tiap
manusia,
jikalau ia benar-benar memohon kepada Allah Subhanahu Wata’ala, diberi
ilham
oleh Allah Subhanahu Wata’ala (Latif, 2011: 21)
Makna
penting lainnya dari pernyataan Bung Karno tersebut adalah Pancasila
sebagai
dasar negara merupakan pemberian atau ilham dari Tuhan Yang Maha
Kuasa.
Apabila dikaitkan dengan teori kausalitas dari Notonegoro bahwa
Pancasila
merupakan penyebab lahirnya (kemerdekaan) bangsa Indonesia,
maka
kemerdekaan berasal dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sejalan
dengan
makna Alinea III Pembukaan UUD 1945. Sebagai makhluk Tuhan,
sebaiknya
segala pemberian Tuhan, termasuk kemerdekaan Bangsa
Indonesia
ini wajib untuk disyukuri. Salah satu bentuk wujud konkret
mensyukuri
nikmat karunia kemerdekaan adalah dengan memberikan
kontribusi
pemikiran terhadap pembaharuan dalam masyarakat.
Bentuk
lain mensyukuri kemerdekaan adalah dengan memberikan kontribusi
konkret
bagi pembangunan negara melalui kewajiban membayar pajak,
karena
dengan dana pajak itulah pembangunan dapat dilangsungkan secara
optimal.
Sejalan
dengan hal itu, Anda juga diharapkan dapat berpartisipasi dalam
meningkatkan
fungsi-fungsi lembaga pengendalian sosial (agent of social
control)
yang mengacu kepada nilai-nilai Pancasila.
Dalam
rangka mensyukuri karunia kemerdekaan, Anda diminta untuk
mengidentifikasi
sekurang-kurangnya 3 fenomena permasalahan sosial yang
menurut
Anda tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Kemudian, Anda
diminta
untuk membuat ringkasan secara tertulis untuk diserahkan kepada
dosen.
Daftar
Pustaka
Al
Marsudi, Subandi. 2006. Pancasila dan UUD’45 dalam Paradigma
Reformasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Burhan,
Wirman. 2014. Pendidikan Kewarganegaraan, Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Darmadi,
Hamid. 2010. Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung: Alfabeta.
Rahmawati, Noviani.
2013. Pendidikan Kewarganegaraan, Klaten: Viva Pakarindo.
Setijo,
Panji. 2006. Pendidikan Pancasila, Jakarta: PT Gramedia.
Syarbani, Syahrial. 2003. Pendidikan
Pancasila Di Perguruan tinggi, Bogor Selatan: Ghalia Indonesia.